KESENIAN

SELAMAT DATANG
DI BLOG LooKM4N G4R3NG.
BLOG INI TERLAHIR KARENA KEINGINTAHUAN DAN KEHAUSAN
TENTANG KESENIAN

Rabu, 07 April 2010

Naskah " Pakaian dan Kepalsuan"

PAKAIAN DAN KEPALSUAN

Saduran bebas ACHDIAT K. MIHARDJA

Dari cerita sandiwara Rusia THE MAN WITH THE GREEN NECKTIE

Karya AVERCHENKO

Para pelaku : -SAMSU, pedagang

-MAS ABU,pegawai negeri

-SUMANTRI, pemimpin politik

-RATNA, istri Sumantri

-HAMID, penganggur dan bekas pejuang

-RUSMAN, penganggur dan bekas pejuang

-PELAYAN dan yang lain-lain

Tempat berlaku : Suatu pondok dalam sebuah restoran kecil.

Waktu : Kira-kira pukul 22.00

DI DALAM RESTORAN SUDAH SEPI. HANYA RUSMAN DAN HAMID YANG MASIH DUDUK BERHADAPAN MENGHADAPI SEBUAH MEJA KECIL. HAMID MINUM KOPI DAN RUSMAN BEER.

MEREKA MASIH MUDA, +25 TH. BADAN HAMID BESAR, TEGAP SEPERTI ATLIT. RUSMAN AGAK KURUS, TAPI KELIHATAN SEHAT DAN SEGAR. PAKAIAN MEREKA KURANG TERURUS, TERDIRI DARI KEMEJA DAN PANTALON YANG SUDAH KUMAL.

HAMID : Yah, kalau kita terlalu mengikat diri kepada segala apa yang pernah kita cita-citakan dulu dan yang kini ternyata meleset semata-mata, maka memanglah kita harus kecewa belaka. Apalgi kalau kita melihat keadaan dikalangan politik kita dewasa ini dan bagaimana kotornya cara-cara pemimpin kita berbuat pengaruh dan kekuasaan, maka bagi kita sebagai bekas pejuang yang kini masih menganggur….

RUSMAN : Tapi politik memang kotor.

HAMID : Itu sama sekali tidak benar. Politik tidak kotor. Malah sebaliknya politik adalah satu hal yang murni. Sloganmu itu kini terlalu mudah diucapkan orang, seolah suatu kebenaran yang mutlak, padahal…..

RUSMAN TERTAWA.

HAMID : Dengarkan dulu!.......

RUSMAN : (TERTAWA). Bagaimana kau bisa berkata begitu, Mid. Itu kan omong kosong. Tidakkah kau perhatikan, bagaimanapartai yang satu atau pemimpin yang satu membusukkan dan menentang partai atau pemimpin yang lain, agar partai atau pemimpin yang ditentangnya itu jatuh untuk kemenangan partainya atau dirinya sendiri? Untuk itu mereka menghasut, mendusta, menipu, menyogok, mengancam, menculik dan kalau perlu malah membunuh. Tidakkah berbuat begitu itu busuk semata-mata. Katakanlah politik itu tidak busuk.

HAMID : Memang, tapi itu sama sekali tidak berarti, bahwa politik itu kotor. Sama sekali tidak. Itu hanya berarti, bahwa partai-partai itu sendiri , atau lebih tepat orang-orangnya itu sendiri yang busuk, yang tidak sanggup berbuat apa-apa, kalau tidak dengan car-cara yang busuk dan jahat. Jadi jelas, bahwa bukanlah politik yang kotor dan busuk itu, melainkan orang-orangnya itu sendiri.

RUSMAN : (PADA PELAYAN).

Hai bung, coba kasih beer lagi. Botol kecil saja, ya. Dan ini yang kosong angkat saja.

HAMID : Dengar, Rus, politik dan pemimpin politik adalah dua hal yang seperti meja dan kursi, sama sekali tidak sama. Atau lebih tepat lagi, tak ubahnya dengan agama dan penganutnya atau pemimpinnya. Dua pengertian yang berbeda-beda, karena kalau yang satu merupakan tugas, maka yang lainnya merupakan petugasnya. Kalau petugasnya jahat, itu tidak boleh diartikan bahwa tugasnya jahat pula. Betul tidak? Dan kalau kita ketahui, bahwa politik sebagai tugas ialah berarti bersama-sama mengatur susunan hidup, sehingga kepentingan dan kebutuhan hidup tiap orang bisa terpenuhi, lahir maupun batin, maka bisakah kita pertahankan kebenaran slogan tadi itu yang mengatakan, bahwa politik itu kotor?

RUSMAN : (MENEGUK BIRNYA). Bagiku pendapatmu itu terlalu bersifat teori, terlalu abstrak. Karena begitu kurang penting. Aku melihat kemyataan-kenyataan yang kongkrit.

HAMID : Ini sama sekali tidak abstrak. Ini malah sangat kongkrit. Jelas toh, bahwa tugas dan petugas itu adlah pengertian yang tidak sama. Dan selanjutnya, tidaklah jelas pula bagimu, bahwa sesuatu tugas yang baik dan murni baru bisa dilaksanakan, apabila petugasnya sendiri mempunyai syarat-syarat yang diperlukan untuk menjalankannya.

Disinilah pikirku, letaknya soal; pada petugas-petugas itu sendiri! Apakah ada pada para petugas itu syarat-syarat yang dibutuhkan untuk menjalankan tugasnya yang begitu tinggi dan begitu murni seperti politik itu?

Tapi yang penting pula tentunya, apakah syarat-syaratnya itu? (MEROKOK) Saya rasa, semurni tugasnya, semurni itu pula tentu syarat-syaratnya itu. Dan adakah di duni ini yang lebih murni, lebih tinggi daripada nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidup yang bertentangan dengan segala kepalsuan, segala dusta dan sebagainya itu?

(RUSMAN MENEGUK LAGI BIRNYA)

Sekarang apabila kita perhatikan para pemimpin politik kita itu, apakah ada pada mereka itu syarat-syarat yang berupa prinsip-prinsip dan nilai-nilai hidup yang tinggi seperti yang kumaksudkan itu?

Saya rasa, sebelum orang lain, seharusnya mereka sendiri yang mengetahuinya. Mereka sendiri yang harus pandai mengukur dirinya sendiri. Apabila ternyata harus berani mencopot dirinya sendiri. Apabila ternyata harus berani mencopot dirinya sendiri dan kedudukannya sebagai pemimpin.

RUSMAN : (TERTAWA TIBA-TIBA)

Kau ini belum juga berobah, Mid. Masih tetap seorang optimis.

HAMID : Bagaimana?

RUSMAN : Ya, bagaimana kau bisa mengharapkan, bahwa mereka atas kemauan mereka sendiri akan sudi mengundurkan diri dari kedudukannya. Ha, ha, untuk berbuat begitu, dibutuhkan jiwa yang besar (TERTAWA DENGAN KERASNYA).

Lihat bung, saya rasa, untuk dewasa ini kita akan terlalu jauh masuk kedarah mimpi, kalau kita ngomong-ngomong tentang jiwa besar, tentang prinsip-prinsip hidup yang tinggi atau moral yang murni, dan sebagainya.

Kata-kata itu kini telah menjadi kata-kata asing, bukan saja bagi kaum politik, melainkan untuk umumnya orang-orang yang hidup pada masa sekarang.

Kata-kata itu sudah tidak dimengerti lagi, sebab orang jaman sekarang lebih mengerti kata-kata yang keluar dari mulut ini.

(MENGELUARKAN PISTOL DARI SAKU CELANANYA, MENGACUNG-ACUNGKANNYA)

HAMID : Lho, dari mana kau dapat?

Coba lihat. (RUSMAN MENYERAHKAN PISTOLNYA)

Ada pelurunya?

RUSMAN : Itulah sayangnya. Sebutirpun tidak ada. Aku mesti cari. Kau punya?

HAMID : (MELIHAT-LIHAT PISTOL ITU)

Darimana aku punya?

TERDENGAR DARI LUAR SUARA-SUARA ORANG HENDAK MASUK RESTORAN ITU. HAMID CEPAT-CEPAT MENYEMBUNYIKAN SENJATA ITU KEDALAM SAKU CELANANYA.

TAK LAMA KEMUDIAN MASUK SEORANG WANITA DIIKUTI TIGA ORANG LELAKI. BERPAKAIAN RAPIH, BERBAJU DAN BERDASI, SEDANG YANG PEREMPUAN MEMAKAI ROK ABU DENGAN KEMEJA SUTRA PUTIH DENGAN SEHELAI SAPU TANGAN MERAH HIJAU DI ATAS DADA SEBELAH KIRI.

MEREKA MASUK SAMBIL RIUH BERCAKAP-CAKAP DAN TERTAWA-TAWA. PELAYAN SEGERA MEMBURU DAN MEMPERSILAHKAN DUDUK. MEREKA DUDUK DI SUDUT KIRI AGAK KE TENGAH.

MEMESAN MINUMAN DAN MAKANAN RINGAN.

SUMANTRI : (MENYALAKAN ROKOK “CAMEL”.PADA MAS ABU)

Bagaimana cerita saudara itu selanjutnya?

MAS ABU : Ya, sesudah seluruh kampong pada lari ketakutan, maka… sungguh mati saudara, bukan sombong, yang berani tinggal hanya aku sendiri. Kemudian baru lima orang pemuda yang berani juga ikut dengan aku.

Mereka punya karabiyn masing-masing, sedang aku sendiri Cuma satu colt dan tiga buah granat tangan. Yang kuning itu, saudara-saudara tahu, yang seperti nanas kecil bentuknya. Nah dengan kelima pemuda itu, aku cegat musuh itu di atas sebuah lembah yang sempit.

Saudara tentu mengerti, betapa berdebar-debarnya hati kami, ketika menunggu musuh itu. Bukan karena takut. Sungguh mati saudara-saudara, bukan!

Karena perkataan takut itu sudah lama aku coret dari kamusku. Malah sebaliknya, bukan perasaan takut, melainkan ada semacam perasaan senang, seperti kalau kita sedang menunggu….

SAMSU : Seorang kekasih. (TERTAWA)

MAS ABU : Ya, begitulah kira-kira. Bukan sombong, tapi begitulah kira-kira. (TERTAWA)

Memang, kalau kita sudah sering bertempur, musuh itu seolah mempunyai daya penarik yang boleh dipersamakan dengan daya penarik seorang kekasih.

Kita cari mereka, sepeti orang rindu cari jantung hatinya. Sungguh mari saudara-saudara, bukan sombong tapi perasaan rindu semacam itu ada padaku ketika itu...

SUMANTRI : Cuma bedanya, kalau sudah bertemu, saudara tidak cium mereka dengan bibir, melainkan dengan granat, bukan?(TERTAWA)

YANG LAIN PUN IKUT TERTAWA, KECUALI PEREMPUAN ITU, O YAH NAMA PEREMPUAN ITU RATNA, SEDANGKAN RUSMAN DAN HAMID BERBISIK-BISIK.

SUMANTRI : Lantas bagaimana hasilnya pertempuran saudara itu?

MAS ABU : Hasilnya? Pasukan musuh itu mampus semuanya, dan senjata-senjatanya kami rampas semuanya... Ahm kalau aku terkenang lagi kepada pertempuran-pertempuran seperti itu, kadang-kadang aku ingin kembali ke jaman revolusi itu. Sungguh mati saudara-saudara, bukan sombong.

SAMSU : (SAMBIL MAKAN KROKET)

Ya, ya, aku bisa mengerti, sebab akupun begitu juga.

SUMANTRI : (SAMBIL MENGUDEK KOPI SUSUNYA)

Saudara dimana ketika itu?

SAMSU : Saya? Saya ketika itu berada di lereng Gunung Galunggung. Saya pun memimpin satu pasukan.

SUMANTRI : Kukira saudara, memegang bagian perlengkapan.

SAMSU : Memang. Tapi ketika ada clash, saya beranggapan., bahwa saya akan lebih berjasa untuk nusa dan bangsa, kalau ikut bertempur memimpin suatu pasukan daripada mencari ban mobil atau mesin tulis dan kertas karbon.

Dan pertempuran-pertempuran macam yang diceritakan oleh Mas Abu itu, di daerahku sendiri hampir tiap hari terjadi. Satu kali saya masih ingat ketika hari jumat, yaitu ketika orang-orang dari kampung kami baru pulang dari mesjid, tiba-tiba diserang oleh sebuah pesawat pemburu yang sambil melayang-layang sangat rendah memuntahkan peluru-peluru dari mitralyurnya, sehingga banyak sekali penduduk yang tidak berdosa mati konyol. Melihat keganasan musuh itu, maka aku tak tahan lagi. Kupasang mitralyurku, dan ketika pesawat itu rendah sekali terbangnya sambil menyirami tempatku dengan peluru, maka kubalas dengan semprotan dari mitralyurku yang semuanya kena sasaran, sehingga pesawat itu segera lari kearah utara sambil menggeleong-geleong miring kekiri miring ke kanan dn mengeluarkan asap dari ekornya. Terbakar ia, lalu jatuh entah dimana.

Coba saudara-saudara bayangkanlah betapa keadaan jiwaku, ketika aku menghadapi semprotan peluru yang mendesing-desing begitu deras sekitar kedua belah telingaku.

Takut? Sama sekali tidak. Seperti Mas Abu, akupun sudah mencoret perkataan takut itu dari kamusku.

SUMANTRI : Saya pikir, memang untuk orang-orang yang sudah biasa menghadapi bahaya maut, perkataan takut ini sudah tidak ada lagi, untuk saya pun perasaan begitu itu sudah hapus.

HAMID DAN RUSMAN BERBISIK-BISIK LAGI.

SUMANTRI : Semua pengalaman saudara-saudara itu sungguh seram. Tapi saya rasa lebih seram lagi apa yang pernah ku alami sendiri. Barangkali saudara-saudara belum mengetahui, bahwa di samping memimpin partai, aku selama memimpin revolusi itu bekerja sebagai seorang penyelidik.

Memang sebagai seorang politikus, kita harus pandai pula menjalankan pekerjaan penyelidik, karena sebagai politikus kita dengan sendirinya banyak musuh-musuh yang mau menjatuhkan kita karena politik memang sudah semata-mata berarti perebutan kekuasaan.

HAMID DAN RUSMAN BERBISIK-BISIK LAGI.

Kalau tidak awas-awas dan tidk hati-hati, kita mudah terjebak. Itulah maka seorang politikus harus pandai pula menyelidik. Tapi saudara-saudara tahu, apa syarat-syarat yang mutlak untuk menjadi seorang penyelidik?

Kesatu, otak kita harus tajam seperti pisau cukur.

Kedua, kita harus berani mati seperti orang gantung diri. Kalau kita bodoh dan penakut, jangan coba-coba kita mau menjadi penyelidik.

Kedua syarat itu berlaku juga sepenuhnya untuk kaum politik. Orang yang bodoh dan penakut tak usah ikut-ikut main politik.

HAMID DAN RUSMAN BERBISIK-BISIK LAGI.

Nah, pada suatu malam saudara-saudara, yaitu akibat pengkhianatan seorang kawan penyelidik yang tidak tahan uji ketika dia di tangkap dan disiksa oleh musuh, maka rumahku tiba-tiba digrebek dan aku tidak bisa meloloskan diri, lalu diangkut ke markas musuh.

SAMSU : (PADA RATNA)

Nyonya juga ikut tertangkap?

RATNA : (SEDIKIT TERTAWA)

O, ketika itu saya masih gadis. Belum kawin. Dengarpun belum pernah tentang adanya seorang pemimpin yang bernama Sumantri.

SUMANTRI : Ya, kami baru setahun ini kawin.

Di markas itulah mulai terbuka suatu neraka bagi diriku. Ah, saudara-saudara tidak akan bisa membayangkan, apa artinya neraka itu bagi diriku. Tahu saudara-saudara, bagaimana seramnya aku di siksa ketika itu?

Ihh! Kalau aku teringat lagi, aku masih menggigil. Bukan main ngerinya. Mula-mula aku dipukuli dengan rotan.

(MENGELUH)

Ah tidak seberapa bung lumayan saja. (CYNIS)

Hanya sekedar dielus-elus dengan rotan sebesar ibu jari, sehingga akibatnya pun tidak seberapa pula, Cuma punggungku bergaris-garis seperti punggung kuda zebra. Tapi biarpun begitu bung, alhamdulillah, aku tetap bungkam, tidak mau membuka rahasia tentara kita.

Bikinlah aku mati! Teriakku kepada algojo-algojo itu, tapi aku tidak akan berkhianat terhadap Nusa dan Bangsa.

(HAMID DAN RUSMAN BERBISIK-BISIK LAGI.)

Kemudian bung, aku diseret kedalam sebuah kamar yang para-paranya terbuka. Aku mesti menjalani siksaan macam lain. Inipun tidak seberapa bung, (CYNIS LAGI) lumayan saja, Cuma sekedar harus merobah kebiasaanku sehari-hari, kalau biasanya aku tunduk kepada kehendak Tuhan dengan menempatkan kakiku dibawah dan kepalaku diatas, kini aku harus menurut kehendak algojo-algojo itu, karena kedua belah kakiku di gantung pada sebuah balok di para-para, sehingga aku harus melihat dunia yang terbalik. Tapi biarpun begitu, aku masih bungkam pula. Tidak mau aku berkhianat. Biar mati deh! Algojo-algojo itu mulai putus asa. Jelas bagi mereka, bahwa mereka sedang menghadapi seorang patriot yang tidak takut mati.

(HAMID DAN RUSMAN BERBISIK-BISIK LAGI.)

Esoknya tangan dan kakiku diikat oleh mereka, lalu badanku digeletakkan diatas tanah seperti orang kulit putih yang hendak dibakar oleh orang-orang Indian. Aku berbaring telentang, dan tidak bisa bergerak apa-apa, kecuali mengedip-ngedip dengan mata. Mulut dan hidungku kemudian ditutupi dengan sehelai sapu tangan yang dicelupkan kedalam air. Siksaan inipun tidak seberapa bung, masih lumayan juga, karena Cuma nafasku menjadi mengap-mengap. Tiap kali aku hampir mati tercekit, maka sapu tangan yang basah itu diangkat sedikit ke atas, tapi segera ditutupkan lagi ke bawah, apabila aku sudah menarik nafas satu helaan.

Yah, lumayan juga, tapi aku masih tetap kuat iman. Aku masih bungkam seperti cacing mati.

Dan akhirnya bung, algojo-algojo itu rupanya sudah betul-betul putus asa. Mereka kemudian menggunakan siksaan yang terakhir. Bukan main enaknya bung. Badanku direjam-rejam dengan aliran listrik. Aku sudah tidak mengharapkan bakal hidup lagi. Tapi alhamdulillah, kini aku masih seperti seekor kambing di kebun sayur.

Dan lebih dari seekor kambing yang diberi sekeranjang kubis muda, aku merasa puas, karena sudah bisa mengatasi segala siksaan dengan tidak berkhianat.

HAMID DAN RUSMAN BERBISIK-BISIK LAGI.

RATNA : (TERTAWA CYNIS)

Kalau begitu, aku ini boleh merasa aman, karena dengan tidak terduga-duga aku ternyata telah berada ditengah-tengah tiga orang pahlawan yang benar-benar.

SAMSU : Iya, karena begitu saudara-saudara, saya rasa memang sudah sepatutnya dan seadilnya, dan memang sudah ditakdirkan Tuhan kalau kita sekarang masing-masing mempunyai kedudukan yang lumayan di masyarakat ini.

(KEPADA MAS ABU)

Saudara misalnya, bekerja sebagai pegawai tinggi, saudara Sumantri sebagai anggota parlemen dan saya sendiri seorang Importuur, itu semua saya rasa memang sewajarnya, kalau kita mengingat jasa-jasa kita di jaman revolusi itu. Betul tidak?

HAMID DAN RUSMAN BERBISIK-BISIK LAGI.

Maka sekarang saudara-saudara, marilah kita minum untuk keselamatan kita bersama-sama sebagai patriot-patriot yang sudah berjasa untuk Nusa dan Bangsa. Prosit!

DENGAN WAJAH RIANG, KETIGA LELAKI ITU BERDIRI MENGACUNGKAN GELAS MASING-MASING, KECUALI RATNA MASIH DUDUK DENGAN TENANG. HAMID DAN RUSMAN BERBISIK-BISIK SEBENTAR, KEMUDIAN DENGAN LANGKAH YANG PASTI BERDIRI MENUJU ORANG-ORANG ITU.

RUSMAN MENARIK PELAYAN MASUK KE BELAKANG.

HAMID : Kulihat saudara-saudara sekalian sudah pada jemu hidup. Buktinya saudara-saudara menipu diri sendiri untuk menyelimuti kejemuan itu dengan ngomong-ngomong, minum-minum, makan-makan. Ketawa-ketawa.

Ketahuilah saudara-saudara, menipu, mendustai, apalagi menipu dan mendustai diri sendiri adalah sangat menjemukan. Karena begitu kejemuan hidup dan kebiasaan saudara-saudara untuk menipu diri sendiri itu merupakan saling pengaruh yang tak putus-putusnya, sehingga kejemuan hidup saudara-saudara itu makin menjadi-jadi dan penipuan diri sendiri makin merajalela.

SAMSU : Apa maksud saudara dengan semua itu? Saudara menuduh kami bahwa kami telah menipu diri sendiri? Sedangkan saudara tidak mengenal kami sama sekali.bertemu pun baru sekali ini. Saya misalnya yang berpikiran sehat....

HAMID : Buktinya saudara? Tak seorang pun dari saudara-saudara itu yang betul-betul memperlihatkan pribadi saudara yang sebenarnya. (PADA SAMSU) Saudara sendiri misalnya, siapa saudara itu sebenarnya?

SAMSU : Saya? Siapa saya? Saudara mau tahu, siapa saya? Saya adalah wakil dari perusahaan NV Melati, yang mengimpor barang-barang tekstil dan pecah belah, juga makanan dalam kaleng. Nah itulah saya. Kalau saudara catat alamat kantor kami; Jalan Diponegoro 7 telepon Gambir 1722.

HAMID : (TERTAWA ENAK)

Ha, ha, ha, aku sudah menduga, bahwa saudara akan memberi jawaban yang lucu seperti itu.

Ha, ha, ha, nah lihatlah, kenapa saudara mesti berbohong? Kenapa saudara mesti berpura-pura dan menggunakan kedok bahwa saudara itu seorang wakil dari sebuah NV importuur. Itu berarti membohongi diri sendiri. Dan itulah yang membikin saudara jemu hidup.

Kenapa saudara tidak mau berterus terang saja, bahwa saudara itu seorang kiayi.

SAMSU : Apa? Saya kiayi?

HAMID : Ya, saudara kiayi. Jangan saudara mau coba-coba membohongi aku. Aku tahu bahwa saudara itu orang yang paling pandai dan paling cerdik. Aku pernah dengar tentang diri saudara.

SAMSU : Maaf saudara, saya rasa, lelucon saudara itu boleh saudara dagangkan di Pasar Senen, tapi disini terang tidak akan laku.

HAMID : (MELETAKKAN TANGANNYA DIPUNDAK BAHU SAMSU) Kiayi salim, janganlah kiayi berani membohongi aku.

SAMSU : Kiayi Salim? Namaku Samsu. Samsu, tak kurang tak lebih.

HAMID : Jangan bohong Kiayi. Tak ada gunanya Kiayi membohongi orang lain. Lagipula berbohong dilarang oleh tiap agama. Tentu hal itu Kiayi juga ajarkan kepada murid-murid Kiayi, bukan? Karena begitu, sekarang lebih baik Kiayi menceritakan saja dengan berterus terang kepada kami, bagaimanakah cara-cara kiayi ampai bisa begitu berhasil mengikat hati para wanita yang menganut ajaran kiayi?

SAMSU : (MELEPASKAN TANGAN DIPUNDAKNYA DENGAN SANGAT JENGKEL) Jangan pegang aku! Apa ini?

HAMID : (MENUTUP MULUT SAMSU DENGAN TANGANNYA)

Hai kiayi, jangan berteriak-teriak begitu. Tidak kiayi lihat? Depan kiayi kan seorang wanita. Apakah pantas kiayi berteriak begitu keras?

SETELAH BERKATA BEGITU HAMID MENARIK KEMBALI TANGANNYA, DAN PADA SAAT ITU PULA MENGELUARKAN PISTOL DARI SAKU CELANANYA. KEMUDIAN DITODONGKAN PADA DADA SAMSU SERTA DADA-DADA YANG LAINNYA.

Saudara-saudara sekalian, saudara-saudara harus tahu pula bahwa aku ini sangat benci kepada orang-orang yang suka kepada kepalsuan-kepalsuan menipu diri sendiri dan berdusta.

MELIHAT PISTOL DITODONGKAN ORANG-ORANG ITU MENJADI GUGUP, SUMANTRI DAN MAS ABU BERGERAK HENDAK LARI, TAPI DENGAN ISYARAT DARI UJUNG PISTOL MEREKA DIDUDUKKAN KEMBALI.

Kawan-kawan, tenanglah. Jangan gugup dan jangn bergerak, karena bergerak sekarang membikin saudara-saudara tidak akan bisa bergerak lagi untuk selama-lamanya.

Dan saudara-saudara tahu, dalam hidup ini, gerak itu sangat penting. Sekali saudara-saudara, ketahuilah, bahwa aku ini seorang laki-laki yang baik hati. Aku hanya benci kepada kepalsuan. Karena begitu, kepada orang inipun aku tidak lain hanya mau menuntut, supaya ia mau mengemukakan pribadinya yang sebenarnya dan bukan yang palsu. Jadi ia tidak boleh bohong.

SAMSU : Sesungguhnya, saya tidak bohong. Saya adalah seorang wakil dari NV Melati, suatu perusahaan impor. Kalau saudara tidak percaya, tanyalah Mas Abu itu.beliaulah yang selalu mengurus lisensi-lisensi bagi perusahaan kami. Atau lebih baik datanglah sendiri ke kantor kami; Jalan Diponegoro 7, telepon 1722 Gambir.

HAMID : Kamu bohong, kiayi Salim. Kamu bohong. Kamu adalah seorang kiayi. Aku tahu.

SUMANTRI : (SETENGAH BERBISIK PADA SAMSU)

Ssstt bung! Bilang saja bahwa saudara betul kiayi. Tak usah segan-segan. Orang ini agaknya sedikit begini.

(MEMBERI ISYARAT DENGAN TELUNJUKNYA MIRING DIATAS KENING)

SAMSU : (BERBISIK)

Habis saya bukan kiayi. Saya pedagang. Wakil dari NV Melati, Importuur. Saudara tahu sendiri. Dia bisa saksikan sendiri. Kantorku di jalan diponegaro 7, telepon 1722.

SUMANTRI : Dia agak malu saudara, untuk mengakui terus terang bahwa ia seorang kiayi. Padahal sayapun tahu pula bahwa orang ini memang seperti saudara katakan, seorang kiayi, bukan?

(PADA MAS ABU) Dan apa kata saudara? Tidakkah saudara pun sependapat dengan saya?

MAS ABU : O, Tentu, tentu. Sungguh saudara, kalau kutilik benar-benar, memang jelas sekali bahwa saudara ini mempunyai wajah seorang kiayi. Tapi kenapa saudara ributkan benar hal itu. Ia kiayi, habis perkara.

HAMID : Aku bukan meributkan hal itu. Aku hanya ingin mendengar dari pengakuannya sendiri, dari mulutnya.

(MENODONGKAN PISTOLNYA KE MUKA SAMSU)

SAMSU : Baiklah kuakui. Aku ini seorang kiayi.

(BERDIRI) Dan sekarang ijinkanlah saya mau kencing dulu ke kakus.

HAMID : O, Tidak boleh. Tidak boleh. Tahan saja dulu.

(PADA YANG LAINNYA) Nah saudara, tidakkah benar apa yang kukatakan tadi? Dia kiayi, bukan?

Dan sekarang, kiayi Salim, kuulangi lagi pertanyaanku tadi; Bagaimanakah kiayi sampai berhasil mengambil hati para wanita, sehingga mereka lantas menganut ajaran kiayi. Ceritakanlah. Singkat saja. (MERAPATKAN MULUT PISTOLNYA TEPAT KEPELIPIS SAMSU)

SAMSU : Baiklah, baiklah. Akan kuceritakan... tapi, janganlah pistolmu ini ditekankan begitu kepada kepalaku. Nanti meletus. Aku takan bisa bercerita lagi nanti.

HAMID : (MENARIK PISTOLNYA)

Ayo mulailah sekarang dengan ceritamu. Bagaimana cara-caramu untuk memikat wanita-wanita itu supaya mereka menganut ajaranmu.

SAMSU : Itu gampang sekali. Kukawini wanita-wanita itu, lalu mereka dengan sendirinya menganut ajaranku.

HAMID : Uch! Tolol amat ceritamu itu, kiayi. Suatu cerita pendek yang terdiri dari dua kalimat, tapi uch! Alangkah membosankannya. Heran kiayi sendiri tidak mengucapkan; ‘audzubillah atau astagfiru’llah.

(PADA MAS ABU) Bukan begitu saudara? Tidakkah bagi saudara pun sangat membosankan cerita kiayi Salim itu?

MAS ABU : Ya, ya, sungguh membosankan. Menyebalkan.

HAMID : Ya, terutama bagi saudara, tentu lebih membosankan, daripada untuk orang-orang lain, karena saudara sebagai seorang rentenir tentu lebih tahu daripada orang-orang lain, apa harganya waktu bagi manusia dalam hidupnya.

MAS ABU : Ah, maaf saja saudara, saya tidak mau disebut rentenir. Itu suatu hinaan yang kelewat besar bagi diri saya sebagai seorang pegawai tinggi, karena merentenkan dilarang oleh negara....

HAMID : Juga oleh agama, bukan begitu kiayi Salim?

SAMSU HANYA MENGANGGUK PASIF.

MAS ABU : Ya, karena begitu, maka saya merasa kelewat terhina oleh saudara. Dan karena begitu, saya akan dakwakan saudara pada polisi. Sungguh mati, bukan sombong, saya merasa terhina.

HAMID : Seorang rentenir tahu benar, berapa harganya satu tahun, satu bulan, satu minggu, satu hari, satu jam, satu menit dan satu detik untuk kantongnya sendiri.

Bukan begitu saudara? (MAS ABU MENGANGGUK PASIF, KARENA TODONGAN PISTOL ITU)

Karena begitu, saudara tentu paling merasa dirugikan oleh kiayi itu, karena waktu saudara diboroskan untuk mendengarkan cerita yang membosankan itu.

Sekarang, cobalah saudara ceritakan kepada kami, bagaimana caranya untuk mendapat uang banyak dengan tidak usah bekerja apa-apa.

MAS ABU : Saya tidak tahu, karena sungguh mati saya ini bukan rentenir. Saya pegawai negeri, bukan sombong, saya ini seorang pegawai tinggi dari kementrian....

HAMID : E e e, Saudara tetap tidak mau mengaku!

(PADA SAMSU) Hai kiayi Salim, ini orang mau mengelabuhi dirinya sendiri dan diri kita semua. Dia seorang rentenir, tapi mengakukan dirinya pegawai negeri.

Ha, ha, ha rupanya kawan kita ini takut dituduh orang, bahwa ia kerjanya Cuma menyuruh orang lain bekerja keras, sedangkan dia sendiri hanya enak-enak saja bermalas-malas dan hanya tahu menghitung-hitung hari dan bulan untuk menagih uangnya.

Tidakkah kiayi lihat, bahwa orang ini adalah seorang rentenir?

SAMSU : Setahu saya, beliau itu memang seorang pegawai tinggi. Dan saya yakin benar, karena urusan lisensi dari perusahaan kami NV Melati yang alamatnya di Jalan Diponegoro 7, selalu diurus oleh beliau.

HAMID : (MENODONGKAN PISTOLNYA KEMATA SAMSU)

Tidakkah jelas bagi kiayi, bahwa orang ini seorang rentenir?

SUMANTRI : (BERBISIK) Bilang saja ya!

SAMSU : Ya, sekarang jelas, saya tidak keliru lagi. Memang sekarang jelas, bahwa ia adalah seorang rentenir.

HAMID : (KEPADA MAS ABU)

Nah, saudara dengar sendiri dari mulut kiayi itu. Saudara bukan pegawai negeri. Sedikitpun memang tak ada bukti-buktinya bahwa saudara seorang pegawai negeri.

Ha, ha, ha, corak dan gaya seorang pegawai negeri dan juga sifat-sifatnya ‘kan lain daripada seorang rentenir?

(PADA SAMSU)

Bukan begitu kiayi?

(SAMSU MENGANGGUK)

Nah, kiayi Salim pun sependapat dengan saya. Dan saudara jangan lupa, bahwa kata-kata dari seorang kiayi harus kita percayai. Kalau tidak, ia bukan lagi kiayi. Persis seperti terhadap kata-kata seorang pemimpin politik, bukan? Kita harus percaya. Kalau tidak, ia bukan pemimpin politik lagi.

(KEPADA SUMANTRI)

Betul tidak saudara? (SUMANTRI MENGANGGUK YAKIN) Nah saudara, sekarang kuulangi lagi permintaanku tadi itu. Ceritakanlah, bagaimana caranya saudara bisa mendapat uang dengan bermalas-malas. Singkat saja!

MAS ABU : (DENGAN GELISAH)

Aku tahu, bahwa orang-orang lain membutuhkan aku. Kugunakan kebutuhan orang-orang itu.

HAMID : Uch!! Sama tololnya cerita saudara dengan cerita kyai tadi. Panjangnya pun sama. Cuma dua kalimat, tapi membosankan, uch! bukan main ! Siapa yang tak jemu mendengarnya.

(PADA SUMANTRI)

Saya sungguh tidak mengerti, kenapa istri saudara yang begitu manis itu saudara biarkan saja dibikin jemu dengan dongeng-dongeng macam yang baru kita dengar dari mulut kedua orang itu. Padahal saudara sebagai seorang penjual obat yang suka melindungi orang-orang lain dari bahaya penyakit.

Penyakit tentu pertama-tama akan ingat kepada istri saudara sendiri. Supaya ia terlindungi dari suatu penyakit yang amat berbahaya seperti penyakit jemu itu.

Saudara toh betul penjual obat bukan?

(SUMANTRI HANYA MENGANGGUK DENGAN SENYUM LUNAK)

(BERSERU GEMBIRA)

Aha, saudara lebih mudah dari kawan-kawan saudara yang lain. Saudara tidak membantah dulu. Memang saudara takkan berani membantah karena sifat pekerjaan saudara tidak mengijinkan. Pekerjaan saudara ialah berhadapan dengan publik saudara. Publik yang saudara harus pikat hatinya supaya mau membeli obat-obatan saudara. Jadi membantah hanya akan diketawakan oleh publik saja. Dan diketawkan pblik itu tidak enak bukan? Malah minggu yang lalu ada seorang tetanggaku yang pada pagi buta terdapat sudah berayun-ayun pada sebatang pohon di kebunnya. Ia ternyata sudah memilih mati daripada hidup diketawakan publik.

Bagaimana sikap saudara? Apa yang lebih baik bagi saudara; mati atau diketawakan orang?

SUMANTRI : Sayapun lebih baik mati.

HAMID : Terang bagiku, bahwa kedudukan saudara sebagai seorang tukang obat itu sunggu ruwet. Mati saudara tentu tidak mau karena memang mati itu tidak sehat. Sedangkan diketawakan orangpun tentunya bagi saudara sangat berabe pula, karena diketawakan publik itu pada akhirnya akan mengakibatkan mati juga seperti tetanggaku itu.

Karena begitu saudara tentunya harus mencari jalan, supaya jangan mati dan jangan diketawakan pula.

Bukan begitu saudara?

SUMANTRI MENGANGGUK

Tapi ruwetnya bagi saudara ialah oleh karena publik itu mau diyakinkan bahwa obat-obatan saudara betul-betul mujarab. Dan ruwetnya lagi karena bagi publik itu tidak ada yang paling meyakinkan daripada bukti-bukti yang nyata. Ruwet bukan?

SUMANTRI MENGANGGUK LAGI.

Tapi biarpun begitu, saya tahu, bahwa soal itu tidak begitu ruwet bagi saudara, seperti misalnya untuk orang lain. Karena saudara mempunyai suatu cara yang istimewa untuk memikat hati publik dengan tidak usah membikin mereka yakin dengan bukti-bukti yang nyata itu. Betul tidak?

SUMANTRI MENGANGGUK LAGI.

Aku tahu bahwa cara saudara yang istimewa itu ialah dengan jalan menyanyi. Bukan begitu?

SUMANTRI MENGANGGUK LAGI

Ha, ha, sungguh mudah saudara ini, tidak ada yang perlu dibantah rupanya.

SAMSU BERGERAK HENDAK LARI. HAMID MENGARAHKAN PISTOLNYA.

Hai, kiayi, kenapa kiayi mau lari. Sabarlah dulu. Kita dengarkan dulu saudara tukang obat ini menyanyi sedikit untuk kita, supaya penyakit jemu hidup itu hilang dari saudara. Coba bung, silakan menyanyi sekarang.

SUMANTRI BIMBANG.

SUMANTRI : Saya tidak bisa menyanyi.

HAMID : Lihat saudara-saudara, ternyatalah kini bahwa saudara penjual obat ini mempunyai darah seni pula yang sungguh-sungguh murni. Buktinya, iatidak mau disebut pandai menyanyi, padahal kita tahu, bahwa ia seorang biduan yang ulung. Persis seperti tiap seniman besar yang selalu membantah kalau ia di sebut seniman besar. Seniman besar memang tidak mau menonjolkan dirinya sendiri. Persis seperti kawan kita ini.

SUMANTRI : Biar harus disumpah apa saja, atau sekalipun harus dijatuhi hukuman disiplin partai, namun saya tetap mengatakan, bahwa saya tidak bisa menyanyi.

HAMID : (MELANGKAH DEKAT SUMANTRI DENGAN PISTOLNYA)

Saudara mau menyanyi atau tidak?

SUMANTRI : (MELIRIK KE ARAH RATNA KEMUDIAN KE ARAH PISTOL. SUMBANG)

Bengawan solo

Riwayatmu ini

Sedari dulu...

Menjadi perhatian insani.

HAMID : (BERTEPUK GEMBIRA)

Bagus! Bagus! Sungguh meredu suara menyanyi. Bakat seni inilah yang membikin saudara selalu berpanen sukses dalam menjual obat kepada khalayak ramai.

(PADA SAMSU)

Tahu kiayi bahwa pengaruh seni itu bisa menghaluskan hati orang-orang yang biadab?

SAMSU : O, Tentu saja tahu.

HAMID : Bagus, bagus. Saya senang mendengarnya. Nah saudara-saudara sekalian. Saudara-saudara mendengarnya. Nah, saudara-saudara sekalian, saudara-saudara telah melihat sendiri bahwa saudara-saudara sekarang sudah kembali kepada pribadi saudara yang sebenarnya. Saya sungguh gembira. Memang dalam hidup ini tidak ada yang paling busuk daripada kepalsuan, ketidak jujuran, penipuan, dusta.

Ia menemani kita pada setiap langkah, turut meluncur dari bibir dengan kata-kata yang kita ucapkan, turut memancar dari wajah kita dengan senyum dan ketawa.

Pendek kata, ia melekat pada diri kita dan menyelimuti pribadi kita yang sebenarnya seperti pakaian menyelimuti yang paling indah di dunia ini, yakni badan manusia.

(PADA RATNA)

Oleh karena itu nyonya, maka dengan segala hormat, saya minta supaya nyonya sudi membuka pakaian nyonya.

(MENGARAHKAN PISTOL KEMUKA SUMANTRI)

RATNA : (BANGKIT) Saudara gila!

HAMID : O, tenanglah nyonya, tenanglah. Janganlah nyonya terlalu lekas marah. Lekas marah tidak baik, nyonya, karena orang yang lekas marah lekas tua.

Dan tua itu... ah, nyonya, tidak ada yang paling berat di dunia ini daripada tua, karena tua umur menuntut kematangan jiwa yang harus membedakan orang tua dari kanak-kanak. Suami nyonya tidak akan keberatan apa-apa.

RATNA : Saudara betul-betul gila. Aku mesti panggil polisi.

HAMID : O, jangan nyonya. Polisi tidak suka melihat orang telanjang. Nyonya belum dengar, bahwa kemarin di seluruh kota banyak gembel-gembel yang ditankapi?

(RATNA MELIRIK PADA SUMANTRI, MINTA DIBELA)

Nyonya lihat sendiri, suami nyonya tidak keberatan apa-apa. Dia diam. Dan seperti kata pepatah, orang yang diam berarti menyetujui.

(MERAPATKAN MULUT PISTOL KE TELINGA SUMANTRI)

Sebagai seorang tukang obat yang berdarah seni, tentu saja suami nyonya pun suka pula melihat badan yang indah dan sehat, sekalipun badan itu badan istrinya sendiri. Bukan begitu saudara?

(MENEKAN PISTOLNYA)

Ayo jawab. Saudara tidak keberatan bukan?

SUMANTRI : Saya.... saya..... ya, saya tidak keberatan.

HAMID : Bagus! Itu dengan sendirinya saudara kan senang juga melihat keindahan?

SUMANTRI : Ya, ya, saya senang. (MELIRIK KE ARAH RATNA)

Dan.... dan badan istriku paling cantik di dunia.

HAMID : Bagus ! tapi rupanya untuk istri saudara belum cukup jelas, bahwa saudara tidak keberatan. Katakanlah padanya!

SUMANTRI : Ratna, sebetulnya kakak tidak mau, tapi a, a,.. terpaksa, Ratna kuijinkan, agar... agar kita selamat semuanya.

Silakan Ratna, kau buka pakaianmu. Tapi ... a, a, jangan terlalu banyak ratna, sedikit saja.

RATNA : Ha, ha, ha, itulah pendirianmu sebagai seorang suami? Baiklah kalau begitu. Aku pun suka yang indah-indah dan sangat jijik kepada segala kekecutan. Baiklah kalau begitu. Akan kubuka pakaianku.

(PADA HAMID)

Tapi saudara, sudikah saudara memerintahkan supaya kiayi dan rentenir itu membalikkan mukanya?

HAMID : O, ITU TIDAK CUKUP NYONYA.

(BERSERU) Rus! Rus! (RUSMAN BERGEGAS DATANG DARI BELAKANG) Mana pelayan, Rus?

RUSMAN : Saya kunci diadalam kakus bersama-sama yang lainnya.

Berlima orang.

HAMID : (KETAWA) Lima orang dalam satu kakus? Ada-adasaja kamu.

RUSMAN : Kita lepaskan?

HAMID : Biar saja dulu. Tapi tolong ikat mata kiayi dan rentenir ini dengan sapu tangan mereka.

RUSMAN : Tangannya?

HAMID : Tangannya tidak usah. (RUSMAN BERBUAT SESUAI PERINTAH) Terima kasih, Rus. Sekarang kau kembali saja ke belakang. Jaga lagi orang-orang yang kau kunci di kakus itu.

(MEREKA BERBISIK-BISIK DULU, KEMUDIAN RUSMAN PERGI)

(PADA SAMSU)

Sebagai kiayi, saudara tidak boleh melihat badan wanita telanjang yang bukan muhrim.

(PADA MAS ABU)

Dan saudara sebagai seorang rentenir tidak baik pula melihatnya, karena bunga ini bukan bunga yang saudara biasa hitung-hitung tiap hari, tiap bulan.

(PADA RATNA) Silakan Nyonya!

SUMANTRI : Ratna.... a, a,.. sedikit saja. Jangan terlalu banyak bukanya... a, a, asal saja.

RATNA : Peduli apa kamu!

(TANGANNYA SUDAH MEMBUKA PAKAIANNYA, SEHINGGA BENTUK BUAH DADANYA YANG DITUTUPI DENGAN BH-NYA NAMPAK TEGAK DAN BERISI)

Saudara ketarik oleh keindahan badanku ini?

Kalau ketarik, tentu saudara ketarik juga oleh ciumku.

Suamiku tentu akan mengijinkan pula.

HAMID : (PADA SUMANTRI SAMBIL MENEKAN PISTOLNYA) Boleh?

SUMANTRI : Bbbboleh....

(PADA RATNA)

Ratna... a, a, asal saja ciumnya .... a, a, asal menyentuh selewatan saja...

RATNA MEMONCONGKAN MULUTNYA KE ARAH HAMID.

TAPI DENGAN HORMAT HAMID MENGAMBIL TANGAN RATNA LALU DIANGKATNYA KE BIBIR.

RATNA : Hai! Kenapa saudara hanya mencium tanganku saja.

Suamiku ‘kan sudah memberi ijin untuk mencium bibirku.

Ciumlah bibirku. Atau saudara barangkali lebih suka mencium aku kalau aku sudah telanjang bulat. Baiklah kalau begitu...

HAMID : Cukup Nyonya, cukup. Nyonya sudah cukup membikin hatiku bahagia. Pakailah saja lagi pakaian nyonya itu.

(RATNA MEMAMKAI KEMBALI PAKAIANNYA)

Rus! Rus!

(RUSMAN MASUK KEMBALI)

Tolong bukakan kembali tutyup mata mereka itu. Dan coba tolong pegang pistolku ini. Jagalah kawan-kawan kita ini, jangan sampai lari keluar, karena diluar banyak angin. Nanti mereka masuk angin.

(IA MENYERAHKAN PISTOLNYA PADA RUSMAN, KEMUDIAN MENUJU MEJA SEMULA DAN MENULIS SESUATU DIATAS SECARIK KERTAS BON. KERTAS ITU DISIMPAN DIMEJANYA DIBEBANI DENGAN UANG LOGAM. KEMUDIAN KEMBALI MENUJU ORANG-ORANG DAN MENGAMBIL KEMBALI PISTOLNYA)

Nah, saudara-saudara, kami sekarang hendak pergi, karena tugas kami untuk menolong saudara-saudar sudah selesai. Akan tetapi sebelum berangkat, kami ingin memberi suatu kenang-kenangan kepada saudara-saudara sekalian. Dan kenang-kenangan itu saya letakkan diatas meja itu.

(MENUNJUKKAN DENGAN UJUNG PISTOL)

(PADA RATNA)

Harap nanti, apabila kami sudah pergi dari sini nyonya sendiri yang mengambilnya untuk kemudian diperlihatkan kepada kawan-kawan yang lain.

(KEPADA RUSMAN)

Rus! Bebaskan dulu orang-orang itu dari kakus dan katakanlah kepada mereka bahwa uang untuk minuman kita ada diatas meja.

(RUSMAN BERGEGAS KE BELAKANG, TAK LAMA KEMUDIAN MUNCUL KEMBALI. HAMID MENODONGKAN PISTOLNYA KEPADA ORANG-ORANG SAMBIL BERGERAK MUNDUR MENUJU PINTU)

Mari kita pergi!.

SEPERGI KEDUA ORANG ITU, MEREKA SEREMPAK MENARIK NAFAS PANJANG, SEDANGKAN RATNA BERGEGAS MENGAMBIL KERTAS DARI MEJA HAMID.

RATNA : (MEMBACANYA. KERAS)

Saudara-saudara, dengan hati yang puas saya telah berhasil membuka kedok yang selama ini menutupi pribadi saudara masing-masing.

Sekarang silakan saudara-saudara melihat dimuka kaca cermin. Cermin takkan memberi bayangan yang palsu lagi kepada saudara-saudara.

Jelas akankelihatan, bahwa yang satu adalah seorang pandir, yang kedua seorang tolol, yang ketiga seorang pengecut dan yang keempat seorang wanita yang gagah berani.

Sedangkan saya sendiri adalah seorang badut yang suka membuka kedok orang-orang dengan sebuah pistol yang kosong.

KETIGA LELAKI : Pistol kosong?

Pistol kosong? Kurang ajar! Sungguh berani dia untuk menghina kita dengan sebuah pistol kosong. Betul-betul setan luar biasa dia. Kalau aku tahu bahwa pistolnya kosong...

MEREKA MENGUTUK-NGUTUK, MENGEPAL-NGEPAL TINJUNYA. RIUH. SAMSU LARI KE PINTU, MELIHAT KELUAR DIIKUTI OLEH SUMANTRI DAN MAS ABU. KEMUDIAN MEREKA MASUK LAGI. MENGUTUK-NGUTUK LAGI. MENGEPAL-NGEPAL TINJUNYA LAGI.

SEMENTARA TENANG-TENANG SAJA. MEMANDANGI MEREKA SAMBIL GELENG-GELENG KEPALA.

RATNA : (LANTANG DENGAN SENYUM MENGEJEK)

Silakan tuan-tuan, kejarlah orang-orang itu.

Pintu sudah terbuka luas untuk tuan-tuan.

Dan lampu-lampu di jalan cukup terang.

Ingin kulihat kekecutan dan kepalsuan mengejar kejujuran.

PADA SAAT ITU PULA PELAYAN DAN YANG LAINNYA DARI RESTORAN ITU MASUK DENGAN MUKA YANG GUGUP.

SELESAI

Diketik ulang oleh studio teater PPPG Kesenian Yogyakarta

06/07

0 komentar: