KESENIAN

SELAMAT DATANG
DI BLOG LooKM4N G4R3NG.
BLOG INI TERLAHIR KARENA KEINGINTAHUAN DAN KEHAUSAN
TENTANG KESENIAN

Rabu, 17 November 2010

Naskah PADA SUATU HARI

PADA SUATU HARI
Karya : ARIFIN C. NOOR
Ijin Penyiaran dan pementasan pada Teater Kecil Jakarta

Para Tokoh:
Nenek
Kakek
Pesuruh
Janda, Nyonya Wenas
Arba, Sopir
Novia
Nita
Meli
Feri

SANDIWARA INI DIMULAI DENGAN MENG-EXPOSE LEBIH DULU:
1. POTRET KAKEK DAN NENEK KETIKA PACARAN
2. POTRET KAKEK DAN NENEK KETIKA KAWIN
3. POTRET KAKEK DAN NENEK DENGAN ANAK-ANAK
4. POTRET KELUARGA BESAR
5. POTRET KAKEK TUA
6. POTRET NENEK TUA
7. MAIN TITLE ETC-ETC

Kakek dan Nenek duduk berhadapan.
Beberapa saat mereka saling memandang, Beberapa saat mereka saling tersenyum. Suatu saat mereka sama-sama menuju ke sofa, duduk berdampingan, seperti sepasang pemuda dan pemudi. Setelah mereka ketawa kembali mereka duduk berhadapan. Lalu beberapa saat saling memandang, tersenyum, lalu ke sofa lagi duduk berdampingan, seperti pepasang pengantin, malu-malu dan sebagainya, demikian seterusnya..

TIGA
Kakek : Sekarang kau nyanyi.
Nenek menggeleng sambil tersenyum manja.
Kakek : Seperti dulu.
Nenek menggeleng sambil tersenyum manja.
Kakek : Nyanyi seperti dulu.
Nenek : Malu
Kakek : Sejak dulu kau selalu begitu.
Nenek : Habis kaupun selalu mengejek setiap kali saya menyanyi.
Kakek : Sekarang tidak, sejak sekarang saya tidak akan pernah mengejek kau lagi.
Nenek : Saya tidak mau menyanyi.
Kakek : Kapanpun?
Nenek : Kapanpun.
Kakek : Juga untuk saya.
Nenek : Juga untuk kau.
Kakek : Sama sekali?
Nenek : Sama sekali.
Kakek : Kau kejam. Saya sangat sedih. Saya mati tanpa lebih dulu mendengar kau menyanyi.
Nenek : Sayang, kenapa kau berfikir kesana? Itu sangat tidak baik, lagi tidak ada gunanya. Sayang , berhenti kau berfikir tentang hal itu.
Kakek : Mati saya tidak bahagia karena kau tidak maumenyanyi. Ini memang salah saya. Tetapi kalau sejak dulu kau cukup mengerti bahwa saya memang sangat memainkan kau, tentu kau bisa memaafkan segala macam ejekan-ejekan saya. Tuhan, saya kira saya akan menghembuskan nafas saya yang terakhir tatkala kau sedang menyanyikan sebuah lagu ditelinga saya.
Nenek : Sayang saya mohon berhentilah kau berfikir mengenai hal itu. Demi segala-galanya berhentilah. Tersenyumlah lagi seperti biasanya.
Kakek : Saya akan tersenyum kalau kau mau mengucapkan janji.
Nenek : Tentu, tentu.
Kakek : Kau mau menyanyi.
Nenek : Tentu, sayang, tentu.
Kakek : Kapan?
Nenek : Suatu ketika.
Kakek : Sebelum saya mati?
Nenek : Ya, sayang, ya, sayang.
Kakek : Sekarang.
Nenek : Tidak mungkin, sayang, kau tahu saya sedikit flu karena pesta beberapa hari yang lalu?
Kakek : (Tertawa) U, saya baru ingat sekarang.
Nenek : Selalu kau begitu. Selalu kau tak pernah ambil pusing setiap kali saya sakit.
Kakek : Kau melebih-lebihkan.
Nenek : Tapi acap kali kau begitu. Kalau saya batuk baru setelah satu minggu kau tahu.
Kakek : Ya, saya akui saya acap kali terlalu asyik dengan diri sendiri. Saya akui. Saya minta dimaafkan supaya sorga saya tidak tertutup, supaya kubur saya…….
Nenek : Sayang, saya tidak mau memberi maaf kalau kau tidak mau juga berhenti menyebut-nyebut soal kematian.
Kakek : Maaf, tidak lagi.
Nenek : Sekarang saya akan memaafkan kau dengan satu syarat.
Kakek : Apa?
Nenek : Kau harus menyanyi.
Kakek menggelengkan kepalanya.
Nenek : Kalu begitu, kau tak saya maafkan.
Kakek : Dan sorga saya…?
Nenek : Mungkin, tertutup.
Kakek : Baik, saya akan menyanyi. Tapi separo. Kalau terlalu lama nanti saya batuk.
Nenek : Tidak. Satu lagu.
Kakek : Nanti batuk.
Nenek : Setiap kali kau bilang begitu, padahal kau memang pintar menyanyi. Dan kau selalu menghabiskan sebuah lagu dengan sempurna tanpa batuk.
Kakek : Satu lagu?
Nenek : Ayolah, sayang. Penonton sudah tidak sabar lagi menunggu sang penyanyi.
Kemudian kakek menyanyi dua tiga baris dari no other love stand – Chen Schubert atau lainnya dan selebihnya play back. Begitu lagu berakhir nenek bertepuk tangan dengan semangat.
Nenek : Suara kau tidak pernah berubah.
Kakek : Mana album kesatu? Saya ingin melihat gambar saya ketika saya menyanyi di depan umum dimana kau juga ikut mendengarkan. Kau ingat kapan itu.
Nenek : Ketika itu kau baru saja lulus propaedus. Kau sombong betul ketika itu.
Kakek : Kau juga. Sepicingpun kau tak pernah membalas pandang saya.
Nenek : Habis pandangan kau nakal.
Kakek : Habis kau juga suka mencuri pandang.
Nenek : Kau sudah terlalu pintar berciuman ketika pertama kali kau mencium saya.
Kakek : Saya memang pintar berkhayal. Setiap kali saya menonton saya selalu mengkhayalkan adegan ciuman secara amat terperinci.

EMPAT
Pesuruh : Ada tamu, nyonya besar.
Nenek : Siapa?
Pesuruh : Nyonya Wenas, nyonya.
Nenek : (Melirik pada Kakek) Nyonya janda itu (kepada pesuruh) Sebentar saya ke depan.
Pesuruh exit.
Nenek : Kau surati dia?
Kakek : Tidak.
Nenek : Kau bohong. Bagaimana dia bisa tahu tentang pesta kita?
Kakek : Saya tidak tahu.
Nenek : Kau bohong (Exit) Demam saya mulai kambuh.

LIMA
Kakek : Seharusnya dia tidak perlu datang kemari.
Kemudian kakek mondar-mandir sambil bersungut-sungut.
Kakek : Saya takut dia betul-betul demam karena kedatangan janda itu. Ah. Lebih baik saya menyingkir ke ruang baca. (Exit)


ENAM
Nenek : Kami sangat berharap sekali nyonya hadir kemarin. Suami saya juga heran kenapa nyonya tidak datang kemudian.
Janda : Kami sakit.
Nenek : Kami? Maksud nyonya….
Janda : Ya, saya dan anjing saya sakit. Setiap kali saya sakit anjing saya juga ikut sakit. Saya agak senang karena sekarang saya agak sembuh, tetapi Bison agak parah sakitnya.
Nenek : Kasihan. Sayang. (Heran suaminya tidak ada). Dimana kau? Dia tadi disini. Sebentar, nyonya (beseru) Onda, dimana kau? (Exit)

TUJUH
Sambil mengamati ruangan tengah itu nyonya Wenas membenahi dirinya.
Janda : Terlaknat saya, kenapa saya jadi gemetar?
DELAPAN
Pesuruh muncul membawa minuman, ketika pesuruh itu akan pergi,
Janda : Nanti dulu.
Pesuruh : Ya, nyonya.
Janda : Siapa yang memilih minuman ini?
Pesuruh : Saya sendiri, nyonya, kenapa?
Janda : Ini memang kesukaan saya.
Pesuruh : Menyenangkan sekali. silahkan minum, nyonya.
Janda : (Minum) Segar bukan main. Bagaimana kau tahu saya suka minuman ini?
Pesuruh : Tuan besar sering menceritakan perihal nyonya kepada saya. Dan ketika saya tahu nyonya datang, segera saya buatkan minuman itu. Selamat minum nyonya.
Janda : Nanti dulu.
Pesuruh : Ya, nyonya?
Janda : Tuan besar masih suka…
Pesuruh : Menyirami kaktus?
Janda : Ya?
Pesuruh : Tidak, nonya, tapi tuan besar menyirami seluruh bunga sekarang, setiap pagi dan sore. Memang tengah malam seringkali diam-diam ia menyirami kaktus yang ditaruh di dalam kakus. Maaf nyonya, saya harus ke dalam.

SEMBILAN
Nenek : Selamat datang, nyonya.
Janda : Selamat atas….
Kakek : Terima kasih. Maaf , nyonya Tampubolon?
Nenek : Kau pelupa benar.
Kakek : Siapa bilang, Nyonya pasti nyonya Mangandaralam.
Nenek : Sayang, ini nyonya Wenas.
Kakek : Ya, saya maksud nyonya Wnas. Apa kabar suami nyonya?
Nenek : Maaf, Nyonya. Sayang, tuan Wenas telah meninggal sebelas tahun yang lalu.
Kakek : Maafkan kau benar sayang. Daya ingat saya jelek sekali. maafkan nyonya.
Janda : Tidak apa.
Nenek : (Berseru) Joni.!
Pesuruh : Ya, nyonya.
Nenek : Bawa minuman ini ke dalam.
Pesuruh membawa minuman tadi ke dalam.
Kakek : Baik-baik nyonya?
Janda : Berkat doa tuan dan nyonya. Tuan sendiri?
Kakek : Berkat doa nyonya.
Nenek : Nyonya suka minum jeruk?
Janda : Minuman apa saja saya suka. Tapi es susu saya paling uka.
Kakek : Saya sendiritidak begitu, tapi……..
Nenek : Kita berdua minum jeruk saja. Kita flue (Berseru) Joni!
Pesuruh : Ya, nyonya.
Nenek : Bikin es susu dan dua gelas jeruk panas.
Pesuruh : Dua es susu dan satu gelas jeruk panas, maksud nyonya?
Nenek : Dua es jeruk satu susu panas.
Kakek : Bagaimana anak-anak nyonya?
Nenek : Sayang, Nyonya dan tuan Wenas tidak diberkahi putera. Kenapa kau bertanya begitu?
Kakek : Maaf, saya lupa. Maksud saya apa tujuan nyonya datang kemari?
Nenek : Maafkan suami saya, Nyonya. Kadangkala dia amat kasar, tapi sebenarnya dia lelaki yang amat lembut.
Janda : Betul, nyonya. Onda adalah lelaki yang amat lembut, malah sangat amat lembut. Onda selalu cermat dalam memilih kata-kata dan juga saya kira ia tidak pernah memakai tanda seru selama hidupnya.
Kakek : Kita minum apa? Nyonya suka….
Nenek : Onda, kita baru saja memesan minuman (menyeret) Tingkahmu berlebihan sehingga memuakkan.
Kakek : kausendiri yang menyuruh agar saya berlaku pura-pura tidak kenal kepada nyonya itu.
Nenek : Ya, tapi kau berlebihan. Kau kurang wajar.
Kakek : Susah. Kalau saya wajar kau marah. Kalau saya berlebihan kau juga marah. Kalau saya jumput di perpustakaan kau juga marah. Saya tidak tahu bagaimana supaya kau tidak marah dan saya tidak mau marah agar kau tidak marah.
Nenek : Pendeknya berlakulah sedikit agak sopan.
Kakek : Saya coba.
Nenek : Kendorkan urat wajahmu.
Sementara itu pesuruh telah menyajikan minuman di atas meja dan baru saja akan melangkah pergi.
Kakek : Udara sangat baik akhir-akhir ini, di rumah nyonya sering turun hujan?
Janda : Ya, terutama belakangan ini.
Nenek : Memang musim hujan.
JAnda : Dan terutama kalau sore.
Kakek : Seperti di rumah kita, tidak begitu, sayang?
Nenek : Tentu saja. Kalau di rumah nyonya Wenas jatuh hujan di rumah kitapun turun hujan, sebab nyonya dan kita satu kota, bahkan satu wilayah kecamatan.
Kakek : memang satu kota, satu kecamatan. Tidak begitu nyonya eh, siapa? O ya nyonya Wenas? Tidak begitu?
Janda : Ya, kita satu kota.
Kakek : Mari kita minum, satu kota mari.
Nenek : Silahkan, nyonya.
Kakek : (Setelah minum) Alangkah hangat es jeruk ini.
Nenek : Ya, silahkan, nyonya. Nyonya tidak suka?
Janda : (Menjerit) Alangkah sejuknya. Terima kasih.
Kakek : Sejak kapan nyonya suka es susu yang panas?
Janda : Sejak, sejak kemarin. Ya, kemarin.
Kakek : Kami sendiri menyukai wedang jeruk yang sejuk baru saja. Tidak begitu sayang?
Nenek : Ya.
Janda : Terus terang saya sangat kagum pada nyonya. Saya tidak pernah melihat nyonya bertambah tua.
Nenek : Nyonya berlebihan.
Janda : Saya sungguh-sungguh, nyonya.
Nenek : Kalau begitu sayapun berterus terang. Nyonya semakin tua semakin cantik.
Kakek : Memang (Nenek melotot). Maksud saya, maksud saya ketuaan itu hanya timbul apabila kita merasa tua. Adapun tua itu sendiri hanya hasil dari suatu penjabaran, hanya sayangnya penjabaran tersebut dilakukan oleh waktu, sehingga menyebabkan kurang enak kita terima konsekuensinya.
Nenek : Saya kira tidak begitu. Tua adalah konsekuensi dari kesadaran kita.
Kakek : Ya, kalau saja kita punya matematika, kita tidak akan pernah tua. Juga kalau saja kita tidak punya jam kita tidak akan pernah tua.
Janda : Tapi kita punya matahari.
Nenek : Itu susahnya.
Kakek : Takdir. Sekarang mari kita minum seakan kita tidak punya matahari.
Janda : Alangkah sejuknya susu panas ini.
Kakek : Alangkah panasnya es jeruk ini. Tidak begitu, sayang?
Nenek : Ya.
Janda : Tapi kalau kita tidak punya matahari kitapun tak akan pernah punya bulan.
Nenek : Juga kita tidak akan punya siang hari dan rematik kau akan lebih parah lagi.
Janda : Kita tidak akan punya siang dan punya malam.
Kakek : Kalau begitu?
Nenek : Lebih baik punya matahari daripada sama sekali tak punya apa-apa.
Kakek : Ya, dan itu berarti tuapun merupakan rahmat.
Janda : Tidak, bukan rahmat tapi “apa boleh buat”
Kakek : Apa boleh buat mari kita minum lagi.
Mereka minum dan omong seperti tadi.
Janda : Tua dan tidak tua tetap saja ama, kaktus, misalnya.
Nenek : Ya, kaktus memang tetap kaktus kaku dan berduri kapanpun.
Kakek : Saya jadi ingat Old Shatterhand dengan Winnetou, bagaimana keduanya merangkak di atas padang rumput sambil membaui udara yang mengantarkan bau musuh, atau bagaimana mereka mendengarkan bentak-bentakan kaki kuda musuh dari jarak ber-mil-mil. Kaktus-kaktus liar banyak bertumbuhan di Amerika.
Janda : Indahnya.
Nenek : Apa tidak indah kemeriahan flamboyant, yang mampu menciptakan jalan selalu diliputi senja?
Kakek : Saya kira lebih indah, juga lebih bermanfaat. Kita bahkan bisa berteduh di bawah cahaya kuning merahnya.
Janda : Tapi flamboyant saya kira terlalu mewah dan kurang seerhana.
Nenek : Kaktus memang selalu kesepian.
Janda : Memang ia kurang dihiraukan orang.
Nenek : Lantaran berbahaya.
Kakek : Bagaimana kalau kita beralih kepada bunga bank saja. Ini lebih langsung menyangkut kepentingan ekonomi kita.
Janda : Sayang sekali kita telah sepakat menerima kehadiran matahari, sehingga saya kini telah ditegurnya. Sudah cukup lama.
Janda : ………Saya di jamu di sini. Saya minta diri sekali lagi saya mengucapkan selamat ata perkawinan emas tuan dan nyonya.
Sayang sekali dia sedang sakit: saya harus segera pulang.
Nenek : Terima kasih banyak ata kunjungan nyonya.
Kakek : Terima kasih banyak. Salam pada suami nyonya.
Janda : Terima kasih (Sambil pergi) Bisonku.

SEPULUH
Perang bisu meletus antara kakek dan nenek.

SEBELAS
Kakek : Kenapa kau diam begitu?
Nenek diam saja.
Kakek : Kenapa kau begitu diam?
Nenek : Kau juga begitu.
Kakek : Kenapa?
Nenek : Kau juga kenapa?
Kakek : Sayang, adalah tidak baik kita bubuhi pesta emas dengan kata-kata seru.
Nenek : Kau sendiri yang membubuhinya. Kau rusak bunga-bunga pesta kita dengan kaktus-kaktu pacar kau.
Kakek : Sejak muda kau begitu yakin seakan saya pernah punya hubungan percintaan dengan perempuan tadi. Saya heran kenapa kau begitu berhasil menciptakan tokoh yang fantatis itu menjadi tokoh yang seolah nyata dalam diri kau sehingga tokoh itu mampu mempermainkan kau sendiri selama hidup kau.
Nenek : Bukan fantastis. Tapi memang dia tokoh fantasi kau bahkan sampai saat kau tua (Menangis) Sengaja kau suruh Joni menyiapkan segera minuman kesukaannya begitu dia datang.
Kakek : Siapa? Saya? Menyuruh Joni? Minuman apa?
Nenek : Kau menyuruh Joni membuat es susu begitu nyonya janda itu datang.
Kakek : Tidak. Saya tidak menyuruh Joni.
Nenek : Kau lakukan itu ketika saya sedang menemui dia tadi ketika kau menyingkir dari dari sini tadi dan kemudian kau sembunyi ke kamar baca.
Kakek : Tidak, sayang, dari sini tadi saya langsung ke kamar baca dan kemudian saya asyik membaca mengenai para psikologi. Ketika kau datang tepat saya sampai pada baris-baris mengenai telepati. Saya ingat betul.
Nenek : Kau bohong.
Kakek : Kalau tidak percaya kau boleh memanggil Joni (Berseru) J o n i !

DUA BELAS
Pesuruh : Ya, tuan besar.
Kakek : Siapa yang menyuruh…..
Nenek : Biar saya yang Tanya (Kepada Joni) Joni.
Pesuruh : Ya, nyonya besar.
Kakek : Siapa yang menyuru…..
Nenek : Biar saya yang Tanya (Kepada Joni) Joni.
Pesuruh : Ya, nyonya besar.
Nenek : Sejak tadi pagi sudah berapa kali kau berbohong?
Pesuruh : Belum sekalipun nyonya.
Nenek : Akui saja toh tidak akan mengurangi penghasilanmu.
Pesuruh : Terus terang sudah dua kali, nyonya.
Nenek : Nah, begitu lebih jantan. Apa saja?
Pesuruh : Pertama kepada istri saya.
Nenek : Itu tidak perlu, yang kedua?
Pesuruh : Yang kedua kepada istri saya.
Nenek : Jadi kau selalu berdusta kepada istrimu sendiri?
Pesuruh : Tidak selalu, nyonya. Kadang kala, tetapi tidak pernah lebih tiga kali sehari.
Nenek : Kenapa kau lakukan itu?
Pesuruh : Karena saya percaya istri sayapun melakukan hal yang sama.
Nenek : Mengenai hal apa saja kau berbohong?
Pesuruh : hampir segala hal dari yang paling ringan sampai yang paling berat.
Nenek : Yang paling ringan misalnya?
Pesuruh : Pura-pura sakit.
Nenek : Yang paling berat?
Pesuruh : Soal sembahyang.
Nenek : Tentang perempuan?
Pesuruh : Itu taraf tengah-tengah, nyonya.
Nenek : Bagaimana?
Pesuruh : Saya kira pertanyaan ini sudah bersifat sangat amat pribadi, nyonya dan kurang sopan.
Nenek : Kau memang jago silat. Baik. Sekarang kau akui saja siapa yang menyuruh kau menyiapkan tiga gelas e susu begitu tamu tadi datang?
Pesuruh : Saya sendiri nyonya.
Nenek : Kenapa justru es susu?
Pesuruh : Saya tidak tahu. Saya asal saja. Nyonya, seperti halnya untuk tamu sebelumnya saya buatkan es sirop dan nyonya diam saja.
S u n y i .
Pesuruh : Ada yang perlu saya kerjakan lagi, nyonya besar?
Nenek : Pergi !
Joni exit.

TIGA BELAS
S u n y i .
Nenek : Berkomplot.
Kakek : Tidak baik mengada-ada.
Nenek : Bahkan kau diam-diam memelihara kaktus dalam kakus.
Kakek : Tidak melulu kaktus tapi beberapa jenis bunga lainnya, juga……
Nenek tiba-tiba menangis sangat kerasnya.
Kakek : Diamlah, sayang. Kalau kau diam saya akan menyanyi lagi. Diamlah. Saya akan menyanyi dua buah lagu sekaligus. Sayang diamlah. Lagi jangan terlalu keras kau menangis nanti kau batuk kalau batuk tenggorokan bisa luka dan suara bisa serak.
Selain itu apa kata anak-anak nanti kalau mereka datang. Sayang. Atau kau mau saya membaca kitab suci? Dongeng? Saya akan membaca bagaimana nabi Nuh melayani singa betina yang bunting, sementara seekor kera sakit Influensa.
Nenek : Biarpun kau dukung saya dari sini ke kamar saya tidak akan diam.
Kakek : Baiklah, saya tidak akan berbuat apa-apa tapi kau mau diam.
Nenek : Kalau kau tidak berbuat apa-apa saya akan menangis lebih keras lagi.
Kakek : Tuhanku,kepala saya Cuma satu dan puyeng. Kalau saja saya punya tiga kepala barangkali saya tahu apa yang harus saya perbuat agar kau diam. Tapi kepala saya Cuma stud an tangis kau memenuhi kepala saya dengan sejuta lalat hijau. Tuhan-ku.
Nenek : Saya akan terus menangis. Biar geledek menyambar saya tetap menangis.
Kakek : Katakan bidadariku apa yang……..
Nenek : Saya bukan bidadari.
Kakek : Katakan malaikat ku.
Nenek : Saya bukan malaikat!
Kakek : Katakan dewiku………..
Nenek : Saya bukan dewi.
Kakek : Terserah siapa kau tapi katakana………..
Nenek : Saya istrimu!
Kakek : Ya, katakana istriku apa yang……..
Nenek : Saya bukan istrimu!
Kakek : Tuhan-ku.
Nenek : Kau kejam. Kau bagaikan patung perunggu dengan hati terbuat dari timah. Kau tidak punya perasaan. Kau nodai percintaan kita dengan perempuan berhati kaktus. Hatimu ular cobra. Kejam! Kejam! Tuhan, masukkan dia ke dalam neraka sampai kukunya hangus.
Kakek : (Menangis) Doamu jahat.
Nenek : Biar
Kakek : Kau ingin saya masuk neraka?
Nenek : Bukan. Kerak neraka. Neraka paling neraka.
Kakek : Kau kejam dan kau sendiri?
Nenek : Ke sorga.
Kakek : Kau egoistis.
Nenek : Biar.
Kakek : Kenapa kita tidak sama-sama satu tempat?
Nenek : Tidak sudi.
Kakek : Kau rupanya ingin kita pisah.
Nenek : Ya, saya ingin kita pisah tapi kau tidak mengerti.
Nenek : ………..Saya ingin kita cerai.
Kakek : Cerai?
Nenek : Ya, cerai. Hari ini juga kita ke pengadilan. Kita cerai.
Kakek : Sayang, kau harus panjang berfikir untuk sampai ke sana.
Nenek : Kalau saya panjang fakir saya takut kita nanti tidak jadi cerai.
Kakek : Tapi kau harus berfikir…..
Nenek : Dalam soal perceraian tidak perlu fikiran tapi perasaan seperti halnya soal percintaan. Pokoknya kita harus cerai.
Hari ini juga kita harus selesaikan surat-suratnya.
Kakek : Sekarang sudah terlalu siang dan saya kira kantor-kantor………
Nenek : Kalau kantor-kantor tutup besokpun jadi, tapi mulai malam ini saya tidak sudi tidur satu kamar bersama kau.
Kau boleh tidur di kamar baca di ata kitab-kitabmu bersama rayap-rayapnya.
Suara Nita : B u s t a m i
Suara Joni : Ya, nyonya!
Kakek : Kau dengar? Nita sudah datang.
Joni lewat.
Kakek : Sayang diamlah.
Nenek : Saya tidak mau diam.
Kakek : Nita datang.
Nenek : Tidak perduli.
Joni lewat membawa banyak bungkusan belanja, begitu muncul Nita begitu nenek lari ke dalam.

EMPAT BELAS
Kakek : (Mengejar) Sayang.
Nita : Ada apa lagi, pak?
Kakek : Kaktus dalam kakus (Exit)
Nita : Bustam.
Joni : Ya, Nyonya.
Nita : Ibu dan bapak bertengkar?
Joni : Tudak tahu, nyonya, tapi saya dengar mereka tangis tangisan.

LIMA BELAS
Ketika Nita dan kemudian Joni exit, muncul Sopir Arba membawa beberapa kopar dan tas meletakkan di sana, tidak lama kemudian muncul Novia dengan anak-anaknya, Meli dan Feri.
Arba : Di sini, nyonya?
Novia : Ya, letakkan saja di sini dulu.
Arba : Yang lainnya, nya?
Novia : Biarkan saja di mobil, kau tunggulah disana.
Meli : Papa nanti ke sini, Mam?
Novia : Ya, sayang (berseru) Pak Arba!
Arba : Ya, nyonya?
Novia : Tidak, nanti saja.
Arba : Baik, nyonya (exit)
Feri : Mana bude Ita, Mam?
Novia : Sebentar, sayang.
Feri : Feri ingin lihat ikan, Mam?
Novia : Sebentar, sayang, sebentar.
Meli : Meli juga, Mam.
Novia : Ya, sayang Meli dan Feri boleh lihat ikan dengan janji tidak main-main air. Nanti ikannya sakit. Kalau ikannya sakit nanti kakek dan nenek menangis.
Feri : Nenek juga suka menangis, Mam?

ENAM BELAS
Muncul Nita dan terkejut.
Nita : (Setelah memainkan Meli dan Feri) Ada apa lagi Novia?
Novia : Nanti saya ceritakan semuanya. Mana Memet?
Nita : Bustam!
Joni : Ya, nyonya.
Novia : Memet!
Nita : Ya, nyonya.
Novia : Bawa masuk Meli dan Feri (pada anak-anaknya) Siapa yang mau lihat ikan?
Meli dan Feri mengacungkan tangannya: Saya Mam.
Novia : Ikutlah sama Mang Memet.
Joni : Ayo lita nonton ikan.
Joni dan Meli dan Feri masuk ke dalam.

TUJUH BELAS
Nita : Lagu lama?
Novia : Tapi kali ini saya kira yang terakhir.
Nita : Dulu kau juga bilang begitu.
Novia : Tapi, Nita, kau sendiri bisa menimbang bagaimana sakitnya perasaan saya melihat tingkah Vita terhadap pasiennya yang pura-pura sakit itu.
Nita : Siapa lagi?
Novia : Icih, anak sunda itu, pacarnya waktu sekolah.
Nita : Tapi kalau memang dia sakit apa salahnya berobat kepada suamimu?
Novia : Saya yakin dia hanya pura-pura sakit.

DELAPAN BELAS
Kakek : Begitu Nita. Kau harus dengar dari permulaan sekali soal ibumu……
Novia : Pak…..
Kakek : Ada apa kau? Baru kemarin kau pulang dari sini? Dengan siapa?
Novia : Anak-anak.
Kakek : Mana mereka?
Novia : Di belakang. Lihat ikan seperti biasanya.
Kakek : (Setelah berfikir) Kebetulan kau datang. Begini. Tidak salah kalau kau juga sebagai anak tahu. Ini persoalan juga sangat runcing dan bisa mengakibatkan kesedihan berlarut-larut.
Novia : Soal apa pak?
Nita : Ibu Purih. Ibu marah.
Novia : Kenapa?
Kakek : Itulah dengarkan saya (berfikir). Begini. Soalnya sepele dan tidak bermutu. Ibumu tidak suka tanaman kaktus. Saya suka tanaman itu. Bahkan saya punya tanaman kaktus dalam kakus. Ibumu marah-marah.
Novia : Bapak tidak maumengalah?
Kakek : Selama hidup saya selalu mengalah dan terus-terusan kalah malah.
Novia : Buang saja kaktus itu.
Nita : Soalnya bukan kaktus. Soalnya itu cemburu pada nyonya Enas.
Kakek : Ya, begitulah kalau tanpa tedeng aling-aling. Ibumu cemburu dan minta cerai.
Novia : Minta cerai?
Kakek : Minta cerai. Bahkan ibumu minta supaya hari ini juga diselesaikan surat-suratnya.
Novia : Ibu?
Nita : Ya, seperti kau sekarang.
Kakek : Apa? Seperti kau, Novia? Ada apa? Kau juga sedang minta cerai? Dari siapa?
Nita : Dari siapa. Dari suaminya tentu, Vita.
Kakek : Kau dan ibumu memang satu jiwa. Alasan apa yang mendorong kau meminta kesedihan serupa itu? Kebodohan macam apa yang mengotori otakmu? Cerai! Seakan dengan mendapatkan kata itu kau dapat mengecap hidup ini lebih nikmat? Novia, kau jangan seperti gadis ingusan. Kamu kira rumah tangga itu rumah-rumahan dari kotak geretan yang dengan mudah dapat kau bongkar-bongkar dan kau susun-susun? Novia, kau sudah waktunya menginsafi bahwa rumah tangga adalah rumah suci yang lain, seperti masjid, gereja dan kelenteng. Dan rumah suci adalah tempat dimana firman-firman Tuhan yang agung dan suci dimulyakan, rumah suci adalah tempat dimana cinta kasih ditumbuh-kembangkan menjadi gairah hidup, untuk meraih maka hidup yang samara dalam semesta ini.
Tuhanku……………….
Novia, alasan picisan apa yang menjadikan kau begitu gairah mendapatkan surat talak? Jangan main-main. Ini bukan lagi semata persolan kau, juga bukan persoalan suamimu semata, tetapi persoalan anak-anakmu yang masih kecil (Menangis) Meli, Feri…. Ini sudah menjadi persolan Negara, persoalan dunia, saya tidak boelh membiarkan rumahmu terbakar hanya disebabkan api mainan yang diminyaki cemburu buta. Saya harus beritahu segera ibumu. (Exit)

SEMBILAN BELAS
Nita : Novia, apakah kau tidak pernah memperhatikan baik-baik betapa jernih mata anak-anakmu yang lucu itu. Meli dan Feri.
Novia : Tapi kau juga bisa menimbang betapa sakitnya hati saya. Coba saja, icih. Si sundal itu hampir setiap hari ia berobat ke rumah.
Nita : Tiap hari?
Novia : Tidak. Maksud saya hampir seminggu sekali.
Nita : Seminggu sekali?
Novia : Katakanlah sebulan sekali tapi sekalipun begitu tingkahnya yang kekanak-kanakan cukup membakar seluruh amarah saya.
Nita : Bagaimana kau tahu? Apa kau ikut memeriksa penyakitnya?
Novia : Saya terpaksa jadi polisi kalau tahu perempuan itu mau berobat. Sengaja saya masuk dalam kamar praktek. Pura-pura mencari sesuatu.
Nita : Kau juga dengan apa yang dipercakapkan Icih dengan suamimu?
Novia : Dengar.
Nita : Apa?
Novia : Seperti dokter dan pasien.
Nita : Lalu apa yang kau cemburukan?
Novia : (Setelah diam) Kalau periksa dalam.
Nita : Kenapa kau tidak ikut ke dalam dan menyaksikan Vita memeriksa tubuh perempuan itu.
Novia : Gila.
Nita : Lalu kau di luar saja.
Novia : Tentu saja.
Nita : Itulah kesalahanmu.
Novia : Lalu apa saya perlu juga membuka kancing roknya? Gila!
Nita : Daripada kau di luar dan membayang-bayangkan yang tidak-tidak?
Novia : Saya tidak membayang-bayangkan tapi memastikan.
Nita : Tapi nanti dulu. Coba jelaskan. Jujur. Icih sudah bersuami?
Novia : Ini bukan masalah bersuami atau belum tapi masalah watak. Sekalipun perempuan jalang itu sudah mati saya yakin rohnya masih banal.
Nita : Betul-betul kau diliputi kemarahan saja. Cobalah berfikir dengan tenang. Sebegitu banyak sudah kata yang kau ucapkan tapi tidak sepatahpun kata yang dapat menjelaskan kenapa kau minta cerai dari suamimu. Kalau kau mau jujr sebenarnya kau hanya digerakkan oleh prasngka-praangkamu sendiri saja. Coba. Kalau kau bisa cemburu oleh Icih kenapa oleh puluhan perempuan-perempuan lain atau bahkan gadis-gadis yang juga berobat kepada suamimu?
Novia : Apa kau kira semua perempuan banal seperti sundal itu? Kalau ternyata memang demikian sayapun pasti cemburu sebesar-besarnya terhadap semua perempuan. Tapi saya kira kaupun yakin tidak semua perempuan punya leher selenggang-lenggok leher Icih yang suka membelit leher suami orang lain.

DUA PULUH
Muncul Nenek dan Kakek.
Nenek : (Menubruk Novia sambil menangis) Novia, sayang, kau jangan suka membaca roman-roman picisan. Kau bisa bayangkan sendiri apa jadinya isi kepalamu dengan roman-roman seperti itu. Dengan membaca cerita-cerita cengeng seperti itu kau sama dengan mengisi usus besarmu dengan minuman keras. Sekali-kali tentu kau boleh, tapi kalau setiap hari kau minum arak sama dengan memperpendek usiamu sendiri.
Nenek : ………….Novia, ibu yakin kau telah terpengaruh roman-roman sampah itu sehingga hidup bagimu tak ubahnya seperti mainan peraan belaka. Bacalah Romeo Juliet. Bacalah tentang kesetiaan cinta, dan singkirkan bacaan yang mengajarkan kebencian dan perceraian. Kau kira perceraian itu jalan cuci?
Kakek : Kau kira kau akan menjadi betina yang jantan kalau kau berhasil bercerai dengan suamimu?
Nenek : Jangan kau sangka perasaanmu dan kecemburuanmu akan menuntun hidupmu kea rah kebahagiaan.
Nita : Juga jangan lupakan Meli dan Feri.
Kakek : Hanya karena soal cemburu, soal-soal roman picisan rumah tangga kau bongkar? Kenapa tidak kandang ayam saja yang kau bongkar yang sudah jelas sudah tapuh itu?
Nenek : Novia, sayang, tidak satupun kebaikan yang terselip dalam niatmu untuk bercerai dari suamimu. Lagi tidakkah kau dapat membayangkan kembali kebaikan-kebaikan suamimu seperti katamu dulu, ketika kau mendesak ibu agar menerima lamaran? (novia akan bicara) tidak perlu kau bicara apa-apa.
Kakek : Ya, tidak perlu sebab, kata-kata seru saja yang kau punya sekarang.
Nenek : Kau dalam keadaan marah. Dalam keadaan marah lebih baik orang diam, dan lebih baiklagi kalau kau mau mendengarkan sayan orang lain.
Kakek : Ya, saya kira begitu. Ibumu sebenarnya juga sedang marah tetapi tak sepatahpun kata kata yang diucapkan.
Nenek : Ban ini, kopor-kopor iniapa perlu artinya? Main-main kau sudah keterlaluan.
Novia : Saya tidak main-main, bu, saya sungguh-sungguh.
Nenek : Lebih jelek lagi (menangis lagi) Tuhanku, apa jadinya nanti kalau kau jadi berpisah dengan Vita yang dulu kau agung-agungkan? Apa jadinya hidupmu?
Nita : apa jadinya anak-anakmu? Meli dan Feri akan kehausan cinta sebab mereka tidak akan lengkap menerima keutuhan cinta.
Nenek : Fikirkan baik-baik, sayangku. Singkirkan kegelapan yang dibenihkan setan cemburu.
Kakek : Apa kira surat talak itu cek?
Nenek : Tuhanku, limpahilah anak saya dengan cahaya kasih Mu. Novia, tidakkah kau bisa menimba pelajaran dari pengalaman-pengalaman ibu dan ayahmu?
Kakek : Ayah dan ibumu berumah tangga selama setengah abad, tanpa sedikitpun membiarkan setan talak bertelur dalam kamar tidurnya, bahkan tidak dalam dapurnya.
Nenek : Kami bagaikan Adam dan Hawa.
Kakek : Apa kau pernah mendengar Hawa minta talak kepada Adam? Berkacalah kepada ibu dan Ayhmu. Kamilah pasangan abadi dunia dan akhirat.
Nenek : Kami bagaikan Sam Pek dan Eng Tay.
Kakek : Pronocitro dan Roro Mendut.
Nenek : Di sahara kami adalah Leila dan Qais.
Kakek : Kau sendiri tahu betapa setianya Layonsari sampai-sampai ia bunuh diri demi cintanya kepada Jayaprana.
Nenek : Bacalah semua itu, sayang. Semua itu pusaka nenek moyang kita yang manjur.
Kakek : Demi menegakkan tiang-tiang rumah tangga kita, berfikir dengan tenang.
Nita : Dan demi kebahagiaan anak kita. Adikku, kau begitu bahagia dengan Meli dan Feri dan papanya Vita kenapa kau sebodoh itu mau memuaskan kebahagiaan itu? Tidakkah kau tahu bahwa diam-diam saya sebagai kakakmu selalu merasa iri karena saya dan suami saya tidak pernah diberkahi anak?
Nenek : Belum. Nita.
Kakek : Kau tidak boleh berkata begitu.
Novia : Tapi bu.
Nenek : Tidak, jangan bicara.
Kakek : Sekarang kau tidak akan bicara kecualimarah-marah.
Nenek : Marah-marah hanya menghasilkan kerut muka.
Kakek : Ibumu juga tidak suka marah.
Nenek : Sekali-kali tentu saja boleh sekedar olah raga urat muka, tapi kalau terlalu sering bisa membuat penyakit.
Nita : Dan anak-anakmu, Novia, anak-anakmu? Akan kau biarkan mereka kehausan cinta hanya demi kepuasan amarahmu? Egoistis?
Novia : Saya tidak akan bicara apa-apa, saya hanya akan menjelakan panjang lebar. Duduk perkaranya.
Nenek : Bicaralah.
Kakek : Apa persoalannya.
Nita : Sudahlah, kita semua sudah mengerti.
Nenek : Biarlah dia jelakan semua, Nita.
Kakek : Bagaimana kita bisa mengerti tanpa lebih dulu mendengar penjelasannya?
Novia : Vita mau kawin lagi.
Nita : Apa kau bilang?
Kakek : Dia bilang apa?
Nenek : Apa kau yakin itu kalimatmu? Saya yakin kalimat itu kau pungut dari salah satu buku picisanmu (berseru) Joni! (tak ada sahutan)
Nita : Bustam !
Novia : Memet !
Kakek : Joni!
Joni : Ya, tuan besar.
Nita : Air dingin, Bustam!
Novia : Cepat, Met!
Joni : Sebentar, nyonya.
Nita : permainanmu terlalu kasar, Novia, kalau kau teruskan ibu bisa pingsan.
Novia : Maksud saya, maksud saya, Vita serong.
Nenek : Dari halaman berapa kau pungut kalimat itu? (berseru) Joni!
Novia : Met !
Kakek : Joni !
Nita : Bus !
Joni tergesa membawa empat gelas air dingin, mereka berempat sama-sama minum.
Nita : Ganti kalimatmu, Novia.
Kakek : Ya, kalau kau tidak ingin perut kamu kembung oleh air dingin.
Nenek : Cari halaman lain yang lebih lembut kata-katanya.
Novia : Ibu, saya cemburu.
Nenek : Nah, itu baik. Cemburu itu suci. Hanya dengan modal itu kaumampu bercinta.
Novia : Tapi vita keterlaluan.
Kakek : Barangkali cemburu kau yang keterlaluan.
Nita : Novia, cemburu pada salah seorang pasien Vita.
Nenek : Novia, rupanya kau beluim menyadari bahwa usapan tangan seorang dokter lembut dan suci seperti lembut usapan orang-orang suci atau bahkan nabi. Dokter-dokter bekerja atas tugas suci. Merekalah yang paling nyata mengamalkan firman-firman Tuhan. Kalau kau mau mengerti para dokterlah yang paling banyak tahu tentang penderitaan manusia sepanjang sejarahnya. Merekalah yang berjuang dengan nyata agar kita bisa mengecap hidup ini bertambah baik.
Kakek : Merekalah menghibur kita, menyembuhkan kita dari segala macam luka yang ditatahkan sang kala.
Nenek : Saya jadi terharu.
Kakek : Kasihan Vita.
Nenek : Anak sebaik itu dicurigai.
Kakek : Seperti nabi-nabi yang diludahi oleh umatnya sendiri.
Nenek : Kau kejam, Novia Abu Jahal kau.
Kakek : Judas kau.
Dengan pucat dan tergesa Joni muncul.
Nita : Ada apa, Bus?
Nenek : Ada apa, Joni?
Novia : Ada apa, Met?
Joni : Meli, nya.
Keempatnya : Meli?
Joni : Feri.
Keempatnya : Feri?
Joni : Meli dan Feri ?
Keempatnya : Meli dan Feri?
Joni : Ya, nya.
Keempatnya : Kenapa?
Joni : Hilang.
Keempatnya : Apa?
Joni : Hilang.
Keempatnya : Diculik ?
Joni : Hilang.
Novia : Kau gila.
Nita : Kau taruh dimana mereka?
Kakek : Beberapa kali saya bilang, hati-hati.
Nenek : Dunia penuh culik.
Nita : Kenapa kau bengong begitu?
Keempatnya : Cari.
Nita : tidak telpon dulu.
Kakek : Polisi.
Kemudian mereka berimprovisasi, mereka betul-betul cema, takut dan lain-lain.
Nita : Meli ! Feri ! Di mana.
Kakek : Cucuku.
Nenek : Cucuku.
Novia : Met !
Joni : Ya, nya.
Novia : Panggil Arba.
Arba : saya di sini, nya.
Novia : Kenapa kau diam saja?
Arba : Saya di sini, nya.
Novia : Meli dan Feri hilang.
Arba : Mereka diculik, nya.
Novia : diculik?
Arba : Papanya sendiri yang menculik, kira-kira seperempat jam yang lalu tuan dokter tadi menemui saya dan diam-diam mengajak Meli dan Feri pulang.
Novia : Gila kamu.
Kakek dan Nenek dan Nita muncul.
Nenek : Di mana mereka?
Kakek : Sudah ada telpon dari Polisi?
Nita : Tukang rokok seberang jalan Cuma bilang bahwa seorang laki-laki telah membawa lari Meli dan Feri dalam sebuah mobil.
Nenek dan Kakek : Apa?
Nenek : (minum) Telpon polisi lagi.
Telpon berdering.
Kakek : Pasti dari Polisi.
Nenek : Cucuku yang malang…. Oh saya sedang membayangkan mereka menangis karena penculik itu mengeluarkan pisau cukur.
Nita : (menyerahkan pesawat telpon) untuk mamanya Meli.
Kakek : Dari Polisi?
Nita : Dari Meli.
Kakek : Berapapun bayar saja permintaannya.
Nenek : Saya yakin pisau cukur itu menyentuh lehernya yang halus.
Nita : Meli dan Feri sudah di rumahnya ekarang. Mereka diculik oleh papanya sendiri.
Nenek : Dongeng apa ini?
Kakek : Keterlaluan! Keterlaluan! Saya tidak bisa memaafkan permainan kasar seperti ini ini.
Nenek : Kenapa berang begitu? Seharusnya kita bersyukur bahwa ini semua Cuma main-main.
Kakek : Justru lantaran main-main saya jadi berang.
Nenek : Lalu apa kau berharap semua ini sungguh-sungguh? Apa memang kau berharap agar Meli dan Feri diculik?
Kakek : Bukan begitu maksud saya, tapi permainan ini bukan untuk orang-orang tua macam kita. Ini permainan pemuda dan bukan untuk orang-orang yang rapuh jantungnya.
Stelah Novia telpon, Nita mendekati dan keduanya bercakap tampak Nita membujuk Novia.
Kakek : Betapapun akan saya marahi Vita. Akan saya katakana bahwa sebagai dokter dia kurang mempertimbangkan kemungkinan effek psikologis dari permainannya. Apa dia tahu bahwa setiap kali saya harus mengatur peredaran darah saya sedemikian rupa di depan aquarium sambil mendengarkan lagu-lagu yang paling lembut agar kesehatan saya terpelihara? Dengan permainan baru saja, sama dengan dia meledakkan granat di atas batok kepala saya. Apa dia fakir dia mampu mengobati kalau saya sakit keras? Barang kali dia lupa bahwa dia dokter muda. Dokter muda jelas baru tahu tentang ilmu kedokteran seninya. Untuk ia, ia perlu bergaul dengan alam. Banyak tingkah. Coba……
Novia : Pak, Ibu, saya permisi pulang.
Kakek : Tanpa minta maaf?
Pulanglah dan bilanglah pada suamimu besok dia harus menghadap kemari.
Novia : Pulang dulu, bu.
Nenek : Jangan lupa semua naehat ibu.
Novia : Ya, bu.
Joni : Polisi, Nyonya.
Nita : Sebentar, saya ke muka.

Naskah KOTA TAK HENTI BERNYANYI

KOTA TAK HENTI BERNYANYI
Karya : Ramatyan Sarjono
PROLOG
Kisah ini terjadi pada sebuah ruang terbuka, di tengah kota, tempat bertemunya orang-orang dengan berbagai latar belakang. Barangkali bukan benar-benar bertemu, selain hanya berada di tempat yang sama dalam waktu yang bersamaan. Mereka; punya alasan yang tidak harus sama untuk datang, ada yang sekedar melepas lelah, ada yang mengisi perut karena dirumah tidak ada masakan, ada yang menghibur diri membuang segala beban pikiran, ada juga yang iseng-iseng mencari pasangan. Barangkali hanya beberapa orang pedagang makanan, mainan anak-anak, juga perempuan-perempuan pelacur yang bertujuan mencari rejeki.
Tempat itu; mungkin sebuah taman kota; mungkin juga bukan. Bisa jadi, dia hanya sebuah alun-alun, sisa peninggalan sejarah kota.
Adegan diawali dengan masuknya beberapa orang pemain ke atas stage; ketika lampu-lampu belum dinyalakan. Mereka mengambil posisi sedemikian rupa; dengan karakter berupa-rupa; tercermin dari property yang dibawa dan berada disekitarnya.
Bermula seorang pemain menyanyikan sebuah tembang, bersamaan waktu dengan sebuah lampu menyorotnya untuk kemudian kembali padam. Demikian satu persatu pemain menyanyikan tembang yang sama, secara bergantian.

Syair tembang itu berbunyi :

IBUKU
DARAHKU
TANAH AIRKU
TAK RELA
KUMELIHAT
KAU SEPERTI ITU
ADA APAKAH ……………… ??????

Setelah semua pemain melakukan hal yang sama, juga beberapa orang pemain yang naik ke stage belakangan; akhirnya secara bersama mereka menyanyikan tembang itu; lampu semua menyala; untuk kemudian padam seiring hilangnya suara pemain.
Stage gelap, pemain diam, sunyi ……………!
Diam-diam semua pemain out, kecuali dua orang wanita yang tetap berada di tempatnya. Mereka adalah seorang penjual jagung bakar dan seorang lagi perempuan lacur, yang masing-masing tengah bersiap-siap menyambut pelanggan Ada juga seorang bocah di satu sudut panggung yang tampak sedang membangun rumah – rumahan dari bonggol jagung.

BLACKOUT

ADEGAN I

Subiah; penjual jagung bakar itu tengah menyalakan bara pembakaran, sementara Sriwit; si perempuan lacur, duduk diatas gelaran tikar sembari bersolek mempercantik dirinya dengan lipstik dan bedak murahan tentunya.

Subiah : (Sesekali melirik Sriwit, sedikit tersenyum sinis)
Kamu pikir dengan mempertebal bedakmu, kamu mampu menutupi garis-garis ketuaan di wajahmu, Sri ? Mbok eling, kamu itu sudah mulai tua, garis-garis keriput diwajahmu itu, semakin lama semakin tampak nyata !
Sriwit : (Sedikit menoleh pada Subiah, kemudian melanjutkan aktivitasnya)
Lha gimana lagi, Mbak, para lelaki itu, para pelangganku itu, selalu menuntut aku untuk tampil cantik. Dengan apa lagi aku akan kelihatan cantik, kalau tidak dengan bedak dan gincu ini ?
(Setelah memasukkan semua alat make-upnya ke dalam tas kecil)
Sampean sih enak, tidak butuh penampilan, pelanggan Mbak Subi juga nggak pernah menuntut yang macam-macam, yang penting jagungnya muda, empuk, manis, cukup ditambah saos sama mentega, enak, gurih, lezaaat..!
Subiah : Makanya, sudah berapa kali kubilang, kamu mbok cari pekerjaan lain. Apa selamanya kamu akan seperti itu ? Menjadi pelacur, menjadi budak nafsu laki-laki iseng. Ingat Sri, harkat dan martabat wanita, tak akan pernah terangkat jika masih ada orang yang melakukan pekerjaan seperti kamu itu.
Sriwit : Embuh mbak, aku sudah tidak memikirkan lagi tentang harkat, martabat, harga diri………………… semua itu hanya omong kosong orang-orang yang katanya pinter, tapi hidupnya selalu keblinger.
Subiah : Ya kamu jangan sinis begitu, Sri, jangan pesimis. Jangan skeptis menatap kehidupan ini !
Sriwit : Walah-walah…………! Mbak Subi……, ngomongnya tiba-tiba seperti orang – orang pinter itu. Pakai is…is…….. segala, sinis, skeptis, pesimis, amis amis……..!
Subiah : Lho, bener Sri ! Kita harus bisa memaknai realita, harus bisa menata hidup kita, diri kita, biar orang lain tidak mencibir, tidak mencemoohkan kita, meskipun sebenarnya kita bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Tapi setidak-tidaknya kalau hidup kita lurus, jujur, nrima ing pandum, tidak neka-neka..maka……………
Sriwit : Eh… Mbak….mbak Subi ! Sampean ini kesambet ya ? kesurupan ya ? Kesurupan siapa Mbak ? kesurupan Kanjeng Sunan ? Sunan Siapa Mbak ? Sunan Kali, Sunan Danau, Sunan Abang atau Sunan Kuning ?
(Berkata begitu Sriwit sembari mendekati Subiah,berusaha memegang jidatnya)
Subiah : (Menghindar dari tangan Sriwit)
Sri ! Kamu ini dibilangi kok malah nyambet-nyambetke! Nyurup-nyurupke!
Sriwit : (kembali ke tempat duduknya)
Habis, Mbak Subi ngomongnya gitu, seperti Kyai atau dukun yang lagi ceramah
Subiah : Ya nggak gitu Sri, maksudku mbok dalam cari makan, cari rejeki, nggak usah aneh-aneh, jangan lewat jalan-jalan kotor sepertimu. Lihat aku, meski pun hasilnya sedikit, tapi dimakan enak, di simpan juga jenak. Coba lihat kamu, berapa penghasilanmu semalam, tapi apa yang sudah kamu punya sekarang ? Semua uang hasil jerih payahmu, menguap begitu saja, tidak meninggalkan apa-apa, ya khan ?
Sriwit : Iya juga sih, mbak ! Semula saya pikir dengan kerja begini, akan cepat mendapatkan uang yang bisa kukumpulkan buat modal apa kek, buka salon, buka warung, atau jual jagung sepertimu,…. Tapi kenyataannya, uang hasil kerjaku rasanya tak pernah betah bila kusimpan. Rasanya kok panas panas gimana gitu lho mbak !
Subiah : Makanya, aku bilang juga apa, coba kamu renungkan apa yang tadi kukatakan !
Sriwit : Iya mbak, tapi ……………..

(tiba-tiba anak yang membangun rumah - rumahan – namakan saja kenang - menyela dengan satu pertanyaan)
Kenang : Mbak, mbak subiah, sekarang sudah jam berapa mbak ?
Subiah : Baru jam setengah tujuh, masih sore, ada apa sih nang ? mau ada acara ya ?
Kenang : Ah enggak, cuma tanya saja kok mbak !
(menjawab demikian dia kembali asyik dengan aktivitasnya)


BLACKOUT


ADEGAN II

Seorang perempuan yg sebenarnya belum terlalu tua, namun penderitaan telah mengubah wajahnya menjadi tampak lelah. Dipundaknya tergantung sebuah buntalan besar yang nyata tampak beratnya. Pakaiannya yang kumuh mempertebal citranya sebagai kaum penderita. Sementara di belakangnya seorang anak perempuan dengan pakaian yang tidak kalah kumalnya. Beriring mereka melintas di depan subiah dan sriwit. Sesekali si anak melepaskan pandangannya ke langit.

Anak : Mak, sepertinya malam ini akan hujan, mak !
Mak : Memangnya kenapa ?
Anak : Kita tidur di mana, Mak ?
Mak : Dimana ? kamu bertanya tidur dimana ? bukankah selama ini tempat tak pernah jadi masalah bagi kita ?
Anak : Iya Mak, tapi tempat ini akan basah oleh hujan, Mak !
Mak : Akan..! baru akan ……, kamu sudah ribut begitu !
Anak : Iya Mak, tapi nanti benar – benar hujan Mak !
Mak : Benar – benar ? kamu bilang benar – benar ?
Anak : Iya Mak, benar – benar hujan mak, nanti basah mak !
Mak : Apa kamu yakin ?
Anak : Yakin Mak ! yakin …..!
Mak : Kok kamu bisa yakin ?
Anak : Kan mendung mak, mendungnya tebal lagi, pasti nanti hujan mak !
Mak : Kamu yakin ?
Anak : Yakin mak !
Mak : Benar – benar yakin ?
Anak : Yakin Mak ! yakin pasti ! Pasti hujan, mak !
Mak : Kamu kok bisa memastikan begitu, apa kamu ini Tuhan ?
Anak : Yach ….. Emak, untuk sebuah keyakinan, kepastian, apa harus menjadi Tuhan ? aku kan belajar membaca tanda – tanda alam, mak !
Mak : Bagus itu, berarti kamu ini “ngerti sak durunge winarah”, tahu bakal terjadinya sesuatu sebelum hal itu benar-benar terjadi !
Anak : (bangga) ya begitulah, mak !
Mak : Dengan kata lain, kamu punya kemampuan meramalkan apa yang akan terjadi !
Anak : (semakin bangga) ya……, kira – kira ….. begitulah, mak !
Mak : Bagus, nanti kasih tahu mak, angka yang bakal keluar malam ini !
Anak : (bingung) Lho…….?
Mak : (sambil pergi – out) Nanti saja ngasih tahunya, disana, biar nggak didengar orang lain ! Sekarang kita cari tempat tidur dulu !
Anak : (Semakin bingung) Lho……, lho……, Mak….?

(dalam kebingungannya karena ditinggal sang emak, kenang tiba-tiba menyela dengan satu pertanyaan )
Kenang : mbak, mbak, sekarang jam berapa ?
Anak : Nggak tahu, nggak punya jam ! memangnya ada apa ?
Kenang : Nggak kok, cuma nanya aja ! (meneruskan pekerjaannya)
Anak : (jadi semakin bingung) Ooo…..cah gemblung …..! (out)

BLACK OUT


ADEGAN III

Suara motor mendekat. Musik lembut. Seorang laki – laki, mungkin pelanggan sriwit, masuk dan mendekati sriwit. Subiah kembali sibuk dengan dagangannya. Si laki – laki tampak berbicara dengan Sriwit. Mereka berdua duduk berdampingan, tidak jauh dari dagangan subiah, tapi agak tersembunyi. Beberapa orang datang membeli jagung baker, sambil menunggu mereka melirik sriwit dan laki – laki itu. Berbagai ekspresi muncul, ada yang senang, benci, mauak, penasaran, dsb. Beberapa waktu kemudian sriwit dan laki – laki perg bergandengani. Suara motor menjauh.
BLACKOUT

ADEGAN IV

Musik lembut tentang cinta. Kenang yang masih asyik dengan pekerjaannya, tiba – tiba berhenti, memperhatikan hasil pekerjaannya, bertanya , berteriak, pada subiah

Kenang : Mbak Subiah, sekarang jam berapa ?
Subiah : Jam delapan malam !
Kenang : Jam berapa mbak ?
Subiah : Jam dua puluh lebih empat menit
Kenang : Jam berapa ?
Subiah : Jam dua puluh lebih empat menit !

Saat berikutnya, kenang berdiri dengan selembar kertas berisi puisi. Ditempatnya berdiri, dia mulai membaca puisi itu dengan ekspresif. Musik lembut masih mengalun. Seiring dengan itu, orang – orang mulai lewat di depan jualan subiah, ada yang berpasangan, ada yang berombongan, ada yang sendiri. Sebagian ada yang menyempatkan diri membeli jagung bakar subiah. Yang lain hanya lewat sambil bercakap dengan teman seperjalanannya. (Semua dilakukan dalam gerak tanpa suara. Karena suara yang terdengar hanya suara puisi kenang dan musik lembut yang tetap mengalir)

Puisi yang dibaca kenang :


KOTA TAK HENTI BERNYANYI

Tanah lapang
Air kelahiran
Kota tak henti bernyanyi
Nada – nada sumbang
Opera sejarah saling silang
Bertumbuk buram khayal penantian
Sinar merkuri rakus libas pesona kunang – kunang

Tanah lapang
Air kelahiran
Hijau rerumput memucat
Bilur wajah berlumur asap
Ludah - ludah membusa
Keringat merupa laut
Caci maki mengkabut
Dada rebah dilindas tumpukan propaganda

Malam ini, dua puluh lebih empat
Gemintang tak bergairah
Saksi keringat curah
Bonggol – bonggol membangun rumah
Dingin trotoar sehangat ranjang mimpi
Semimpi berpasang muda
Jelajahi lorong surga

Malam ini, dua puluh lebih empat
Ditanah lapang air kelahiran
Sejarah tak habis cerita
Kisah baru berdesak laju
Pahat hati batu – batu


YU JAGUNG BAKAR DAN YU LONTE ALUN-ALUN

Gelar….gelar…..gelar…..
Tikar-tikar di gelar
Botol-botol digelar
Arang-arang dibakar
Bongkol-bongkol dibakar

Yu, malam ini malam minggu
Berapa karung kau bawa untuk pelangganmu ?

Gelar….gelar…..gelar…..
Paha-paha di gelar
Dada-dada digelar
Hasrat-hasrat dibakar
Nafsu-nafsu dibakar

Yu, malam ini malam minggu
Berapa tebal bedak gincu kau pakai untuk pelangganmu ?

Gelar….gelar….gelar…..
Tidak dengan getar
Tidak dengan gentar
Trotoar ini milikmu
Alun-alun ini milikmu

Gelar….gelar….gelar…..
Tidak dengan dupa atau asap kemenyan
Cukup tubuh rentan menahan dingin malam
Biar terhirup udara
Kurangkan sesak jiwa
Ketika rasa berpacu lari tinggalkan caci dan air mata
Menumpuk ingin menumpuk angan
Mengejar ingin mengejar angan
Hanya kepadamu yu,
Ku mampu bertatap.

BLACKOUT


ADEGAN V

Suara puisi menghilang, musik lembut berganti tegang. Suara seorang perempuan menghentak dari luar panggung. Tampaknya dia begitu marah, menangis, cenderung putus asa. Kalimatnya jelas mengancam seseorang yang sangat dibencinya.

Perempuan : Bajingan ! perempuan sundal ! Dasar pelacur ! Lonte ! Apa tidak ada pekerjaan lain, selain mengganggu rumah tangga orang ? bajingan kamu Sri ! Awas kamu Sri, tak bacok lehermu, biar mampus kamu ! Sri ! Sriwit ! Dimana kamu ? jangan ngumpet Kamu. Ayo tunjukkan batang hdiungmu, pengecut ! Ayo Sri….! Lonte ! Ayo kesini, biar ku bacok – bacok kamu !
Kamu juga laki –laki bangsat ! Apa sudah jadi pengecut ? Lihat anak – anakmu ! Anak – anakmu yang tak pernah kamu perhatikan ! Lihat ! Dasar laki – laki tak bertanggung jawab. Bisanya cuma cari gendak’an. Mendhing kalau gundikmu perempuan baik – baik ! bukan pelacur jalanan seperti si sriwit ! Ayo, keluar kamu ! biar ku bunuh sekalian !

Dengan kemarahan yang meluap – luap, perempuan itu masuk, dengan sebilah sabit di tangannya, mendekati dasaran Subiah. Dia masih tetap meracau dengan kalimat – kalimat ancamannya

Perempuan : Sri..! Sriwit.! Ngumpet di mana kamu ? He Subiah jagung bakar, kamu sembunyikan di mana Sriwit ? Ha ? Jangan coba melindungi dia ! Nanti kamu ikut jadi korban kemarahanku ! Mana ? Mana Sriwit ?
Subiah : (tetap tenang, tak terpengaruh dengan kehadiran perempuan itu, tetap asyik dengan dagangannya)
Yo embuh ! Memangya aku ibunya Sriwit apa ? kok nanya - nanya aku, apa hubungannya ? Lagian, apa untungnya aku sembunyikan dia Sriwit ?
Perempuan : Kamu temanya kan ? tempat mangkalnya kan ? atau kamu induk semangnya, germonya, Sriwit ?
Subiah : Mbak, jangan ngawur ya bicaramu ! memang, Sriwit memang sering disini. Tapi bukan berarti aku germonya. Tempat ini kan tempat umum, siapa saja boleh disini. Memang hakku apa melarang dia ?
Perempuan : Ya kan ? ngaku kan kalau kamu temannya Sriwit?
Subiah : Iya ! Benar ! Sriwit memang temanku ! Tapi apa salahnya ?
Perempuan : Apa salahnya? Apa kamu tidak tahu kalau Sriwit itu pelacur?
Subiah : Memang kalau pelacur kenapa ?
Perempuan : (Karena tidak kuat menahan kemarahan, akhirnya dia hanya bisa jatuh terduduk sambil menangis)
Suamiku…………suamiku, mbak !
Subiah : Suamimu itu kenapa ?
Perempuan : (pandangan menerawang, sambil menangis) Berbulan – bulan dia tidak pulang! Melupakan keluarga, melupakan anak dan istri. Tidak pernah lagi memberi nafkah. Siapa yang tidak marah, mbak? Siapa? Setelah saya cari – cari, kabarnya, setiap malam dia selalu kesini. Dan selalu bersama Sriwit. Coba bayangkan, mbak, bayangkan! Suamiku itu kerjanya hanya buruh panggul di pasar, hasilnya tak seberapa. Masak selalu dihabiskan hanya untuk bermain gila dengan pelacur itu. Sudah gitu, masih gila nomer lagi. Main togel tiap hari. Sementara anak – anak semakin membutuhkan biaya. Anak kami sudah empat mbak, yang besar baru saja masuk SMP. Dengan apa aku akan membiayai semua itu, kalau suamiku tidak peduli seperti ini ?
Subiah : (melihat perempuan itu menangis, dia jatuh kasihan. Dibuatkannya segelas teh)
Ya sudah, sabar! Diminum dulu tehnya, biar tenang! Nanti kalau kesini, temui dia, bicarakan baik – baik! Paling sebentar lagi juga datang !
Perempuan : Percuma, mbak! Sudah habis kesabaran saya! Tidak ada gunanya lagi bicara sama dia !
Subiah : Kita lihat saja nanti, sekarang tehnya diminum dulu!

Ketika perempuan itu minum tehnya, sekonyong – konyong sang suami masuk, tanpa menyadari kalau istrinya ada disitu. Dengan santai dia melenggang, menanyakan Sriwit pada Subiah. Ini membuat Subiah jadi gugup

Laki – laki : Halo mbak Subiah! Ramaikah daganganmu? Sriwit mana? sudah datang belum?
Subiah : E…e..e, iya ramai! Sudah…e, belum… e, sudah …..! (dalam kegugupannya, dia mencoba memberi tahu dengan isyarat mata )
Laki – laki : (Belum menyadari, masih santai, mengambil jajanan subiah) Sudah apa belum? Mana dia sekarang?
Subiah : Itu….! Itu…..! (tangannya menunjuk – nunjuk ke perempuan)

Reflek pandangan laki – laki mengikuti arah telunjuk subiah. Kaget dia ketika dilihatnya sang istri yang tampak beringas, dengan sebilah arit di tangannya.

Perempuan : (menahan amarah) Kang……!
Laki – laki : K…kau…! Kau….?
Perempuan : Iya…..aku, kang !
Laki – laki : Me…..mengapa…..mengapa kamu…. kesini ?
Perempuan : Untuk membunuhmu!

(mengejar sambil mengayun – ayunkan aritnya. Laki – laki ketakutan, berlari, sembunyi di balik subiah, terus dikejar, terjadi kejar – kejaran, laki – laki out, terus dikejar perempuan)

BLACKOUT

ADEGAN VI

Subiah masih ditempatnya, sibuk dengan dagangannya ketika beberapa orang dengan membawa peralatan masuk. Satu diantaranya, pimpinannya mungkin, menunjuk – nunjuk tempat dagangan subiah. Yang lain mengerti! Tanpa bicara, orang – orang itu mulai menyingkirkan dagangan Subiah. Subiah yang semula hanya emperhatikan, merasa diperlakukan tidak adil, dia protes. Dikembalikannya dagangannya ke tempat semula. Dipindah lagi. Dikembalikan lagi. Dipindah lagi. Dikembalikan dengan kesal. Dipindah dengan marah, dilempar, berserakan !

Subiah : He! Apa-apaan ini? Apa yang kalian lakukan ?
Pimpinan : Kamu harus pindah dari sini!
Subiah : Memangnya kenapa?
Pimpinan : Tempat ini akan digunakan untuk kepentingan umum!
Subiah : Kepentingan umum? Kepentingan umum apa ?
Pimpinan : Sudah ! Ndak usah banyak tanya !
Subiah : Tidak ! sudah bertahun – tahun saya jualan disini. Tidak, tidak bisa !
Pimpinan : Pindah ! Atau kamu celaka ?
Subiah : Tidak!
Pimpinan : Pindah!
Subiah : Tidak!
Pimpinan : Pindah!
Subiah : Tidak!
Pimpinan : (memberi isyarat pada anak buahnya)

Subiah ditangkap, dibekuk, diseret keluar. Subiah meronta – ronta, tapi tidak kuasa melawan. Barang – barang dagangannya diacak – acak orang – orang itu. Berserakan. Kemudian orang – orang itu membawa masuk sebuah papan besar, dipasang di tempat bekas dagangan subiah. Sebuah papan yang bertuliskan P A R T A I.

BLACKOUT

EPILOG

Lampu perlahan menyorot papan PARTAI. Serakan dagangan subiah masih di tempatnya. Sayup – sayup terdengar lagu IBUKU DARAHKU dari seorang perempuan. Nada suaranya mencerminkan kedukaan. Sriwit masuk bersama seorang lelaki. Terlihat dari gayanya, mereka sedang dimabuk asmara. Seiring alunan lagu, mereka berpacaran. Bersenda gurau, bermesraan. Hingga akhirnya Sriwit menggelar selembar tikar, yang ditinggalkan subiah, tepat di bawah papan. Berdua mereka duduk disana. Ketika akhirnya Sriwit berbaring, dan laki – laki mulai membuka pakaiannya, lampu perlahan padam, lagu mengeras dan THE END.

Demak, Maret 2004

Dibikin untuk dipentaskan oleh Teater OASE SMAN 1 Demak.

Naskah BUNGA RUMAH MAKAN

BUNGA RUMAH MAKAN
Karya : UTUY T. SONTANI

Pertunjukan Watak Dalam Satu babak

Diketik ulang dari Naskah Terbitan
Perpustakaan Perguruan Kementrian P.P. DAN K.
Jakarta 1954
PARA PELAKU
1. Ani, gadis pelayan rumah makan “Sambara”
2. Iskandar, pemuda pelancong
3. Sudarma, yang punya rumah makan “Sambara”
4. Karnaen, pemuda anak Sudarma
5. Usman, kyai kawan Sudarma
6. Polisi
7. Suherman, pemuda kapten tentara
8. Rukayah, kawan Ani
9. Perempuan yang belanja
10. Pengemis
11. Dua pemuda pegawai kantoran

Panggung merupakan ruangan rumah makan, dialati oleh tiga stel kursi untuk tamu, lemari tempat minuman, rak kaca tempat kue-kue, meja tulis beserta telepon, radio dan lemari es. Pintu kedalam ada di belakang dan pintu keluar ada di depan sebelah kiri.

ADEGAN 1
KARNAEN : (duduk menghadap meja tulis, asyik menulis).
ISKANDAR : (masuk dengan rambut kusut dan langkah gontai, memandang ke arah pintu ke belakang).
KARNAEN : (berhenti menulis). Ada keperluan apa, saudara?
ISKANDAR : Tidak! (pergi keluar).
KARNAEN : (heran memandang, kemudian melanjutkan menulis).

ADEGAN 2
KARNAEN : (berdiri). An! Ani!
ANI : (dari dalam). Ya, mas!
KARNAEN : Sudah selesai berpakaian?
ANI : (tampil). Sudah lama selesai, mas.
KARNAEN : Tapi mengapa diam saja di belakang?
ANI : Saya membantu pekerjaan koki.
KARNAEN : Who, engkau turut masak?
ANI : Tidak mas, hanya memasak air. Timbangan diam tidak ada kerja, supaya tidak merasa kesal.
KARNAEN : Tapi akupun suka melihat engkau masak, An. Apalagi karena dengan begitu, engkau akan kian jelas kelihatan sebagai wanita yang akan jadi ratu rumah tangga.
ANI : (pergi mengambil lap di atas gantungan). Ah, mas, bila mendengar perkataan ..rumah tangga” saya suka gemetar. Saya masih suka bekerja seperti sekarang ini. (mengelap radio).
KARNAEN : Sampai kapan engkau berpendirian demikian, An?
ANI : (tetap mengelap radio, membelakangi Karnaen). Saya bukan Tuhan mas, tak dapat menetapkan waktu. (melihat kearah Karnaen). Kita setel radionya, ya mas?
KARNAEN : Ah, di pagi hari begini tidak ada yang aneh. (melangkah mendekati Ani). Dan daripada mendengar radio aku lebih suka mendengar engkau menceritakan pendirianmu. Engkau lebih senang jadi pelayan daripada mengurus rumah tangga, An?
ANI : (berdiam perlahan-lahan menjauhi Karnaen). Saya tidak mengatakan, bahwa saya lebih senang jadi pelayan daripada mengurus rumah tangga, mas. Tapi saya belum hendak memikirkan berumah tangga, sebab sayamasih senang bekerja.
KARNAEN : Tapi, An, ketika engkau dulu kubawa kesini keinginanku bukan hanya melihat engkau jadi pelayan di sini saja. Aku ingin melihat engkau menjadi wanita yang sungguh-sungguh wanita. Dan wanita yang kumaksudkan itu, ialah wanita yang cakapmengurus rumah tangga.
ANI : (terkulai menundukkan kepala). Mas, saya tiada mempunyai perkataan untuk menyatakan terima kasih atas kebaikan budi mas, sudah membawa saya kesini. Tapi, ketika saya datang disini dulu, saya tiada ingin lebih dari jadi pelayan, jadi pegawai sebagaimana kesanggupannya orang miskin didalam mencari sesuap nasi.
KARNAEN : (terdiam memalingkan muka).
TELPON (berbunyi)
ANI : (memandang kearah telpon).
KARNAEN : Tentu dari kapten Suherman, untukmu, An.
ANI : (melangkah menuju meja tulis, tapi baru dua langkah berhenti lagi). Barangkali untukmu, mas.
KARNAEN : (memandang Ani, kemudian segan menuju meja tulis, mengangkat telpon). Ya, di sini rumah makan Sambara. Tuan Sudarma belum datang. Saya anaknya. Ya. (telepon diletakkan, terus bermenung lalai.
ANI : (membelakangi Karnaen, mengelap rak)

ADEGAN 3
PEREMPUAN YANG BELANJA (masuk membawa kantong besar diisi barang belanjaan).
ANI : O, nyonya! Silakan masuk. (menghampiri, lalu meraba-raba kantong). Rupanya baru pulang dari pasar, ya? Oh! Nyonya membeli sandal juga. Berapa harga sandal begitu, nyonya?
PEREMPUAN : Tiga rupiah. Mahal , nona. Saya beli karena saya butuh saja. (mengeluarkan sandal dari kantong, memperlihatkan sandal kepada Ani).
ANI : Tapi kuat dan bagus nyonya. Berani saya membeli tiga rupiah. (memberikan lagi sandal).
PEREMPUAN : Saya pilih yang begini, sebab saya sudah tua. Untuk kaki nona tentu saj mesti lebih bagus dari ini. Dan saya lihat tadi di sana memang ada yang cocok sekali dengan kecantikan nona.
ANI : (setelah terdiam sejenak). Eh, kopi susu atau susu coklat yang mesti saya sajikan untuk nyonya?
PEREMPUAN : Saya hendak membeli manisan belimbing. Masih ada?
ANI : O, ada, nyonya. Berapa puluh?
PEREMPUAN : Dua puluh saja, lebih dari dua puluh, uangnya tidak cukup.
ANI : (pergi ke tempat kue-kue, mengambil, menghitung dan membungkus manisan belimbing).
KARNAEN : (berjalan kea rah pintu keluar).
ANI : Hendak kemana, mas?
KARNAEN : Ada perlu dulu sebentar. (terus keluar).
ANI : (memberikan bungkusan kepada perempuan). Hanya ini saja nyonya?
PEREMPUAN : (memberikan uang). Ya, ini saja. Betul satu rupiah?
ANI : Betul nyonya. (menerima uang). Terima kasih.
PEREMPUAN : Terima kasih kembali.
ANI : Mau terus pulang saja nyonya?
PEREMPUAN : Betul. Maklum di rumah banyak kerja. (tiba-tiba memandang Ani, terus menghela nafas). Ah, sayang anak saya yang laki-laki sudah meninggal dunia.
ANI : Mengapa nyonya?
PEREMPUAN : Kalau dia masih hidup,… ya kalau dia masih hidup, mau saja memungut nona sebagai menantu.
ANI : Ah!
PEREMPUAN : Sudah, ya. Permisi. (berjalan keluar).
ANI : Selamat bekerja di rumah, nyonya.(mengantar sampai ke pintu).


ADEGAN 4
ANI : (pergi ke belakang sambil bernyanyi-nyanyi).
PENGEMIS : (masuk perlahan-lahan dengan kaki pincang, melihat kekiri kekanan, ke rak tempat kue-kue, kemudian menuju rak itu dengan langkah biasa, tangannya membuka tutup toples hendak mengambil kue).
ANI : (tampil dari belakang). Hei! Engkau mau mencuri ya!
PENGEMIS : (cepat menarik tangan, menundukkan kepala)
ANI : Hampir, tiap engkau datang disini, engkau kuberi uang. Tak nyana, kalau sekarang engkau berani berani datang di sini dengan maksud mencuri.
PENGEMIS : Ampun, nona, ampun.
ANI : Ya, kalau sudah ketahuan, minta ampun.
PENGEMIS : Saya tak akan mencuri, kalau saya punya uang.
ANI : Bohong!
PENGEMIS : Betul, nona, sejak kemarin saya belum makan.
ANI : Mau bersumpah, bahwa engkau tak hendak mencuri lagi?
PENGEMIS : Demi Allah, saya tak akan mencuri lagi, nona. Asal…
ANI : Tidak. Aku tidak akan memberi lagi uang padamu.
PENGEMIS : (sedih). Ah, nona, kasihanilah saya..
ANI : Tapi, mengapa tadi kau mau mencuri?
PENGEMIS : Tidak, nona, saya tidak akan sekali lagi. Kan saya sudah bersumpah. Ya, saya sudah bersumpah.
ANI : (mengambil uang dari laci meja). Awas, kalau sekali lagi kamu mencuri!

ADEGAN 5
SUDARMA : (masuk menjinjing tas, melihat kepada pengemis). Mengapa kau ada di sini? Ayo keluar!(kepada Ani). Mengapa dia dibiarkan masuk, An?
ANI : Hendak saya beri uang.
SUDARMA : Tak perlu. Pemalas biar mati kelaparan. Toh dia datang hanya mengotorkan tempat saja.
ANI : (melempar uang kepada pengemis). Nih! Lekas pergi.
PENGEMIS : Terima kasih nona, moga-moga nona panjang umur.
SUDARMA : Ayo pergi. Jangan kau mendongeng pula. Lekas dan jangan datang lagi disini!
PENGEMIS : (pergi keluar dengan kaki pincang).
SUDARMA : Lain kali orang begitu usir saja, An. Jangan rumah makan kita dikotorinya (dengan suara lain). Tak ada yang menanyakan aku?
ANI : Ada, tapi entah dai mana. Karnaenlah yang menerima telponnya tadi.
SUDARMA : Anakku sudah biasa lalai. Barusan dia ketemu di jalan, tapi tidak mengatakan apa-apa. (mengangkat telpon). Sembilan delapan tiga.
ANI : (mengelap kursi).
SUDARMA : (kepada Ani). Meja ini masih kotor, An.
ANI : (mengelap meja).
SUDARMA : (dengan telpon). Tuan kepala ada?-Baik-baik, (menunggu). Waaah, kalau sudah banyak uangnya lama tidak kedengaran suaranya, ya? -Ini Sudarma, bung. -Ha ha ha, betul! Biasa saja, menghilang sebentar untuk kembali berganti bulu. (tertawa). -Tapi bung, bagaimana dengan benang kanteh yang dijanjikan itu? -Ya, ya, benang kanteh. -Ah, ya! -Bagus, bagus. Lebih cepat, lebih nikmat.-Ya, ya, sebentar ini juga saya datang. Baik, baik. (telpon diletakkan, kepada Ani). Aku hendak pergi ke kantor pertemuan. Kalau ada yang menanyakan, baik perantaraan telpon atau datang, tanyakan keperluannya lalu kau catat, ya An? (melangkah).
ANI : Ya.
SUDARMA : Eh, jika nanti Usman datang disini, suruh dia menyusul aku ke kantor pertemuan. Dan engkau jangan bepergian.
ANI : Baik.
Sudarma : (pergi keluar).

ADEGAN 6
ANI : (menyetel radio, membuka majalah melihat-lihat isinya).
USMAN : (masuk). Mana tuan Sudarma, An?
ANI : (mengendurkan radio). Barusan pergi ke kantor pertemuan, paman.
USMAN : Who, katanya dia akan menunggu aku disini.
ANI : Ada juga pesannya kepada saya, supaya paman menyusulnyake kantor pertemuan.
USMAN : Dia itu, lepas sebentar saja dari mata, sudah sukar dikejar.
ANI : Sejak dari mana paman mengejar dia?
USMAN : Mulai dari rumahnya kami bejalan bersam-sama. Tapi ditengah jalan, dia meninggalkan. Katanya mau menunggu aku di sini. Begitulah mertuamu, An!
ANI : (berdiri). Mertua saya?
USMAN : Akan jadi mertuamu maksudku.
ANI : Tapi, paman, dari mana datangnya anggapan itu?
USMAN : Tidak dari mana-mana, hanya menurut kepantasan saja dan kebiasaan dalam pergaulan hidup. Menurut kepantasan, siapa berani berani mengatakan tidak pantas engkau jadi istri Karnaen. Menurut kebiasaan, engkau dan Karnaen itu sudah bergaul rapat sekali, bukan?
ANI : (menutup siaran radio). Tapi, paman…
USMAN : Ah, pendapat orang tua tak usah kau bantah. Tapi betul tadi tuan Sudarma menyuruh aku menyusul?
ANI : Ya.
USMAN : Ke kantor pertemuan katamu?
ANI : Betul.
USMAN : Biar hendak kususul kesana. (berjalan keluar).

ADEGAN 7
ANI : (menghela nafas, melangkah menuju pintu keluar seraya meninju-ninjukan kepalan tangan kanan kepada tangan kiri, di pintu, berdiri, melihat keluar; setelah menghela nafas, berjalan lagi menuju meja tulis;duduk di atas kursi, sebentar kemudian sudah berdiri lagi, terus merenung; cepat memandang ke arah telpon, tangannya diulurkan kesana, tapi cepat ditarik lagi, terus merenung menggigit-gigit bibir; lama dulu baru mengulurkan lagi tangan ke arah telpon dan sekali ini terus mengangkatnya). -Minta disambung dengan tiga tiga lima sembilan. (menunggu). Asrama Batalyon Lima disini? Minta bicara dengan tuan kapten Suherman.- sudah pergi? – o, tidak, tidak penting. Katakana saja dari Ani, dari rumah makan Sambara.- ya.- terima kasih. (telpon diletakkan).

ADEGAN 8
ANI : (merenung bersandar kepada meja tulis)
PEMUDA PEGAWAI KANTORAN (masuk berdua)
PEMUDA 1 : Selamat pagi!
ANI : Selamat pagi.
PEMUDA 1 : (kepada kawannya). Kau mau minum apa?
PEMUDA 2 : Kita mau minum? Apa tidak akan terlambat ke kantor nanti?
PEMUDA 1 : Ah, masih pagi. (duduk di kursi). Susu saja ya?
PEMUDA 2 : Terserah.
PEMUDA 1 : (kepada Ani). Minta susu dua gelas nona.
ANI : (pergi ke belakang).
PEMUDA 2 : Kau bilang dia menggembirakan. Mana menggembirakannya?
PEMUDA 1 : Aku juga tidak mengerti, mengapa dia sekarang sedingin itu. Kemarin dia lain lagi kelihatannya.
PEMUDA 2 : Rupanya harus kita yang memulai.
PEMUDA 1 : Tapi sedingin itu aku tak sanggup.
PEMUDA 2 : Dia malu, masih kanak-kanak.
PEMUDA 1 : Ah, masa sebesar itu kanak-kanak.

ADEGAN 9
ISKANDAR : (masuk, melihat kepada tamu-tamu, lalu duduk di kursi).
ANI : (tampil membawa baki diisi dua gelas susu; melihat kepada Iskandar, lantas mempercepat langkah menuju meja yang dihadapi pemuda-pemuda). Kuenya apa, saudara? Tartyes atau lapis legit?
PEMUDA 1 : Mana yang lebih enak?
ANI : Yang lebih enak tentu yang lebih mahal harganya.
PEMUDA 1 : Tapi anehnya saya ini tidak suka kepada yang enak.
ANI : Mengapa?
PEMUDA 2 : Sebab dia bukan manusia biasa, nona. Keluarbiasaannya ialah, kalau nona sudah satu kali kenal dengan dia, maka dia….
PEMUDA 1 : Ya, nanti saya akan menelpon kesini. Asal saya sudah diberi tahu nama nona dan nomor telpon di sini.
ANI : Tapi saya hanya mau menerima, bila yang dibicarakan dalam telpon itu sungguh-sungguh penting.
PEMUDA 2 : Itulah pula keanehan nona! (kepada kawannya). Tinggal kau tanyakan saja apa yang ditafsirkan “penting” oleh nona itu.
ISKANDAR : (pergi keluar).
ANI : (memperhatikan Iskandar).
PEMUDA 1 : Ya, apa gerangan, nona, yang penting untuk nona itu?
ANI : Ah, saya tidak tahu. (mengundurkan diri, pergi ke belakang).
PEMUDA 2 : Jinak-jinak merpati!


PEMUDA 1 : Dan itulah yang menggembirakan hatiku.
PEMUDA 2 : Hendak kau telpon kesini nanti?
PEMUDA 1 : Ah, jangan dulu. Jangan tergesa-gesa.
PEMUDA 2 : Engkau masih takut.
PEMUDA 1 : (minum gembira).

ADEGAN 10
SUHERMAN : (masuk). An!
PEMUDA-PEMUDA (memandang kepada yang datang).
ANI : (tampil). Oh, mas Herman. (gembira mendapatkan). Barusan tadi saya telpon mas ke asrama.
SUHERMAN : O, ya?
ANI : Saya tak sabar menunggu, mas, padahal susu untukmu sudah lama kusediakan. Saya takut kalau-kalau mas tidak akan datang.
SUHERMAN : Kapan aku dusta padamu, bungaku?
ANI : Sampai sekarang belum pernah.
SUHERMAN : Tapi setelah aku datang disini, tak hendak aku kau beri minum, agar jasmaniku segar menghadapi engkau?
ANI : Ah, maaf, mas. Hampir saja lupa karena kesangatan gembira. Tapi karena sudah sejak tadi disediakan, mas tak akan lama menunggu. (pergi kebelakang).
PEMUDA 1 : (berisyarat kepada kawannya menyuruh lekas menghabiskan susu).
PEMUDA 2 : (minum menghabiskan susu).
SUHERMAN : (duduk di kursi).
ANI : (tampil membawa baki diisi gelas susu).
PEMUDA 1 : (mencegat). Berapa nona?
ANI : Oh! Apa yang telah dimakan, saudara?
PEMUDA 1 : Hanya minum susu dua gelas.
ANI : Satu rupiah.
PEMUDA 1 : (memberikan uang).
ANI : (menerima uang). Terima kasih.
PEMUDA 1 : Terima kasih kembali (kepada kawannya). Mari!
PEMUDA 2 : (berjalan mengiringkan kawannya keluar).


ADEGAN 11
ANI : (mendapatkan Suherman). Ini saya sendiri yang bikin, mas, bukan koki.
SUHERMAN : (hendak menyalakan api untuk rokok). Bagus!
ANI : Bolehkah saya menyalakan api, mas?
SUHERMAN : Tentu, saja, bungaku.
ANI : (menyalakan api, membakar rokok di bibir Suherman).
SUHERMAN : Tak bosan aku memandang wajahmu.
ANI : Tapi kapan mas akan menepati janji mengajak saya jalan-jalan?
SUHERMAN : (minum dulu). Janji seorang tentara adalah janji yang tidak kosong. Tapi waktunya belum mengijinkan.
ANI : Banyak pekerjaan, mas?
SUHERMAN : Ya, dan pekerjaan tentara diikat oleh disiplin.
ANI : Tapi, mas gembira saja ya? Barangkali karena sudah banyak yang dilihat. (duduk didepan Suherman). Jika mas belum sempat membawa saya jalan-jalan, dapatkah mas sekarang bercerita kepada saya sebagai gantinya jalan-jalan?
SUHERMAN : Bercerita? Tapi cerita tentang apa?
ANI : Tentang….. ya, misalnya tentang tempat-tempat yang sudah mas datangi, yang menggembirakan mas. Biar saya turut gembira karena mendengarkan.
SUHERMAN : Tempat yang menggembirakan? Hm, ya, aku sudah pergi ke utara sampai ke pantai, ke selatan memasuki rimba, ke barat, ke timur, dan mendapat tempat yang paling menggembirakan di….. coba terka! Di mana?
ANI : Di mana, mas?
SUHERMAN : Di sini, sebab disini ada engkau!
ANI : Jika begitu, tidak usah saja pergi dari sini?
SUHERMAN : Pergi dari sini bagaimana?
ANI : Ah, mas, seringkali saya ingin pergi, sebab seringkali saya merasa kesal. (menundukkan kepala). Bagaimana, mas, supaya saya tidak kesal?
SUHERMAN : (memegang dagu Ani, menegakkan mukanya). Sekarang kesal juga berhadapan dengan aku?
ANI : Ti.. tidak.
SUHERMAN : Tersenyumlah, supaya akupun tidak kesal memandanginya.
ANI : (tersenyum).
SUHERMAN : Hm, siapa bilangengkau tidak indah? Segar rohaniku menghadapi engkau.
ANI : Tapi……. Akan sering mas menengok saya?
SUHERMAN : Sudah pasti, bungaku!
ANI : Dan janji tentara adalah….
SUHERMAN : (berdiri) janji yang tidak kosong.
ANI : Saya percaya.
SUHERMAN : Tapi pula tentara mesti selalu berdisiplin. Sekarang juga aku tak akan lama diam disini. (minum menghabiskan susu).
ANI : Nanti datang lagi disini?
SUHERMAN : (memberikan uang). Tentu.
ANI : Jam berapa?
SUHERMAN : Takkan sampai menjelang satu jam. Asal kewajibanku sekarang selesai dilakukan, aku datang lagi dan ada lagi dihadapanmu.
ANI : Dan janji tentara adalah….
SUHERMN : (memegang dagu Ani). Janji yang tidak kosong. (berjalan, di pintu berdiri memandang Ani). Kutinggalkan dikau bungaku. Segarlah, jangan layu sebelum dipetik! (keluar).
ANI : (mengikut sampai pintu).

ADEGAN 12
ANI : (menyimpan gelas bekas susu kebelakang, masuk lagi membersihkan meja dan kursi sambil tidak berhenti-henti menyanyi).
RUKAYAH : (masuk). Gembira sekali pagi ini, An!
ANI : Apa tidak boleh manusia bergembira lantaran ada harapan?
RUKAYAH : Oh, engkau rupanya hendak mengajak aku berfilsafat. Tapi harapan dari mana, An?
ANI : Dari orang, Ruk. Dari orang yang mengerti kepada keinginanku.
RUKAYAH : O, ya? Siapa gerangan orangnya?
ANI : Tak usah kau tahu.
RUKAYAH : Oi, agak degil pula engkau ini, ya?
ANI : Degil atau tidak degil, tapi aku tak akan mengatakannya. Walaupun begitu, namun keteranganmu sebagai kawanku sangat kubutuhkan.
RUKAYAH : Keterangan apa?
ANI : Apa artinya, Ruk, bila perempuan ingin menyerahkan segenap raga dan jiwanya kepada laki-laki?
RUKAYAH : Oh, engkau sudah sampai kesana? Itu sama saja dengan dua kali dua yaitu empat, perempuan ingin menyerahkan raga dan jiwanya kepada laki-laki, yaitu …cinta..! patut mkemerah-merahan.
ANI : Betul kemerah-merahan?
RUKAYAH : Sangkamu engkau dapat menyembunyikan isi hati?
ANI : Ah, kukira kebahagiaanku hanya impian, takkan sampai kelihatan orang lain.
RUKAYAH : Siapa laki- lakinya, An?
ANI : Tidak akan kusebutkan. Belum waktunya.
RUKAYAH : Cantik? Jantan?
ANI : Itu bukan soal untukku. Yang membahagiakan aku ialah lantaran dia mengerti kepada keinginanku.
RUKAYAH : Aku mengiri juga padamu. Tapi…
ANI : Tapi apa?
RUKAYAH : Ah, tidak.
ANI : Katakan, Ruk. Katakan!
RUKAYAH : Ingin aku bertanya, apa kehendak menyerahkan raga dan jiwa kepada laki-laki itumenurut perasaan saja, atau juga menurut pikiran. Sebaba menurut pendapatku cinta itu baru benar, jika pikiran turut menghitungnya.tapi ini hanya pendapatku saja. An, pendapat seorang perempuan yang tak mau dipandang lebih rendah oleh laki-laki, oleh umat yang umumnyamemandang hidup dengan pikiran. Kalau aku menghadapi laki-laki dengan perasaan saja, alamat akan celakalah aku sebagai perempuan.
ANI : Jadi menurut engkau, laki-laki itu dianggap….
RUKAYAH : Musuh tapi kawan!
ANI : Aku belum kesana,Ruk
RUKAYAH : Tak usah, nanti seperti aku, sukar mendapat tunangan, sehingga sekarang juga….. ya sekarang aku mengiri padamu. Sungguh, aku mengiri. An, aku takut, kalau-kalau engkau sejak sekarang takkan lagi jadi kawanku.
ANI : Ah, masa, Ruk. Aku sekarang masih juga aku yang kemarin.
RUKAYAH : Bohong! Engkau sekarang sudah jadi kepunyaan laki-laki itu. (berjalan). Sudahlah! Nanti kita bersua lagi.
ANI : Nanti dulu! Engkau mau kemana? Tergesa-gesa benar.
RUKAYAH : Hendak menegok dulu tempat untuk rapat nanti.
ANI : Nanti kesini lagi?
RUKAYAH : Selama engkau disini, belum dibawa laki-laki itu, tentu aku kesini.(terus berjalan keluar).

ADEGAN 13
ANI : (merenung).
ISKANDAR : (masuk, berdiri memandang Ani).
ANI : (terkejut, tegak memandang Iskandar). O, engkau yang…… selalu datang disini bukan untuk belanja?
ISKANDAR : (duduk di atas meja). Ya, aku datang disini bukan untuk belanja, tapi untuk……. Menengok, melihat engkau.
ANI : Untuk menakutkan aku!
ISKANDAR : (tersenyum pahit). Terima kasih.
ANI : Apa terima kasih?
ISKANDAR : Karena aku kau takut. Aku tahu bagimu aku memang bukan seperti laki-laki yang banyak.
ANI : Ya, tidak seperti yang banyak, tidak tahu adat kesopanan, duduk bukan ditempatnya duduk.
ISKANDAR : (merokok).Aku manusia merdeka.
ANI : Tapi disini rumah makan, bukan kebun tempat pelancong berbuat semaunya.
ISKANDAR : Pelancongan? Hm, orang boleh berkata sesuka hatinya. Tapi bagiku, lebih baik aku disebut pelancongan daripada seperti engkau diam disini untuk bermain sandiwara, mendagangkan kecantikan, menipu laki-laki, supaya mau belanja kesini.
ANI : Berani pula engkau menghina aku!
ISKANDAR : Maunya engkau hanya dipuji saja.
ANI : Perduli apa untukmu?
ISKANDAR : Sangkamu aku seperti mereka, datang disini untuk minum karena ditipu oleh kecantikanmu?
ANI : Tutup mulutmu!
ISKANDAR : Tidak! Selama bibirku melekat pada badanku, aku berhak berkata kepadamu.
ANI : Hak? Hak apa? Memangnya aku ini kerabatmu yang boleh kau hina? Memangnya rumah makan ini rumahmu, tempat engkau berkata dan berbuat semaunya terhadap orang lain? Ya, aku tahu, engkau menaruh dendam kepadaku, sebab kau cinta kepadaku, tapi tak sanggup mengatasi laki-laki lain, lantaran engkau tidak bekerja, kecuali mondar-mandir mengukur jalan.
ISKANDAR : (bangkit berdiri). Apa? Aku cinta padamu? Hh, memangnya aku ini buta? Sangkamu aku suka melihat kecantikanmu? Bah! Apa arti wajahmu.
ANI : Lekas pergi! Tak sudi aku melihat mukamu. Dasar lancongan. Tak tahu adat. Gampang saja membuka mulut.
ISKANDAR : Engkau yang gampang membuka mulut memainkan bibir. Kau sangka bibirmu itu dipandang bagus oleh semua orang?
ANI : Pergi! Pergi!
ISKANDAR : Tidak!
TELPON (berbunyi).
ANI : (cepat mengangkat telpon). Ya, disin rumah makan Sambara. –Tidak ada tuan, belum datang (telpon diletakkan, terus kepada Iskandar). Ayo pergi! Aku benci melihat kau.
ISKANDAR : (diam memandang).
ANI : Engkau tak akan pergi?
ISKANDAR : Tidak, sebelum aku sendiri yang mau.
ANI : Engkau rupanya bukan pelancongan saja, tapi setengah matang. Kau kira siapa yang lebih berkuasa disini, engkau atau aku?
ISKANDAR : Hh, mentang-mentang jadi pelayan, hendak mengaku berkuasa. Engkau tidak berkuasa disini, tapi engkau disini dibelenggu, diperbudak. Cis! Katanya saja i dibelenggu, menggantungkan diri kepada orang lain.
KARNAEN : Sekali lagi aku bertanya, mau pergidari sini, tidak?
ISKANDAR : 0�

ADEGAN 14
KARNAEN : (masuk). Ada apa, An? Kedengarannya ribut.
ANI : Dia orang setengah malang, mas. Datang disini untuk menghina mengejek saja.
KARNAEN : Suruhlah dia pergi dari sini.
ANI : Sudah, tapi dia tak mau pergi.
KARNAEN : (kepada Iskandar). Saya minta dengan sangat, supaya saudara pergi meninggalkan tempat ini.
ISKANDAR : Perlu apa saudara turut campur?
KARNAEN : Saya orang disini.
ISKANDAR : Tapi saya tidak berurusan dengan saudara. Saya berurusan dengan dia.
KARNAEN : Dari itu, kalau saudara berurusan dengan dia, berarti saudara berurusan pula dengan saya, sebab saya pelindung dia.
ISKANDAR : Patut!
KARNAEN : Apa?
ISKANDAR : Patut jadi pelindung dia, sedap muka saudara tak sedap di mata.
KARNAEN : Engkau di sini rupanya mencari perselisihan ya? Kalau begitu, atas nama ketertiban rumah makan ini, engkau kuusir, mesti pergi sekarang juga. Jika tidak, nanti kupanggil polisi.
ISKANDAR : Panggilah polisi, supaya kian jelas, bahwa orang-orang disini dibelenggu, menggantungkan diri kepada orang lain.
KARNAEN : Sekali lagi aku bertanya, mau pergidari sini, tidak?
ISKANDAR : Tidak!
KARNAEN : (cepat mengangkat telpon). Minta kantor polisi! –ya, ini kantor polisi? –di sini rumah makan Sambara. –saya minta bantuan polisi , supaya lekas mendatangi kamidisini.-ada yang mengganggu ketertiban, datangdisini mencari perselisihan. –dia mengejek, menghina kepada kami. –boleh jadi dia gila. –sudah, tapi dia tak mau pergi. –ya, sekarang masih ada di sini. –terima kasih! (telpon diletakkan).
ISKANDAR : Itukah keberanianmu, keberanian pelindung?
KARNAEN : Aku manusia beradab, tahu aturan, bukan karena takut menghadapi engkau.
ISKANDAR : Hh, manusia itu pakainnya saja yang bagus, tak tahu ia, bahwa itu hatinya lebih kotor dari kakus. (berjalan hendak keluar).
KARNAEN : (menghampiri seraya mengepalkan tangan). Jangan lari pengecut!
ISKANDAR : Aku manusia merdeka, tiada seorang juga yang berhak menyuruh dan menahan aku. (terus berjalan).
KARNAEN : (menjangkau bahu Iskandar). Diam!
ISKANDAR : (cepat memutar badan, meninju Karnaen).
KARNAEN : (jatuh terlentang).
ISKANDAR : (menjunjung kursi hendak membanting Karnaen).
ANI : (menjerit).
ISKANDAR : (melepaskan kursi dari pegangan, pergi keluar).

ADEGAN 15
ANI : (cepat mendapatkan Karnaen, menolong membangunkan). Sakit, mas?
KARNAEN : (bangkit memijit-mijit tangan kiri). Ya.
ANI : Oh, apa yang mesti kulakukan?
KARNAEN : Tariklah oleh kedua belah tanganmu. (mengulurkan tangan kiri).
ANI : (memegang tangan Karnaen dan menariknya).
KARNAEN : (menyeringai). Aduh! Sudah, An sudah dulu!
ANI : (melepaskan tangan Karnaen).
KARNAEN : (memalingkan muka Ani dan memijit-mijit tangan). Dapatkah selamanya engkau mengulurkan tangan kepadaku, mengindahkan suara hatiku, An?
ANI : Saya tidak mengerti, mas.
KARNAEN : (terkulai). Ya, engkau tak tahu menaruh kasihan kepadaku. (berjalan perlahan-lahan). Hanya jika aku memakai baju tentara, baru engkau mau mengindahkan cintaku.
ANI : Ah, mas, saya kian tidak mengerti.
KARNAEN : (duduk di kursi, membelakangi Ani). Bukankah orang seperti Suherman yang kau indahkan dankkau anggap laki-laki yang patut kau serahi baktimu?
ANI : (tertunduk). Mengapa mas sampai kesana pula?engkau kusayangi, mas, kusayangi sebagai adik terhadap abang. Tak nyana bila Suherman mas anggap sebagai saingan.
KARNAEN : (diam merengut memijit-mijit tangan).
ANI : (mengulaikan kepala).

ADEGAN 16
POLISI : (masuk). Tadi ada telpon dari sini ke kantor polisi.
KARNAEN : (bangkit). Benar, saya yang telpon.
POLISI : Mana orangnya yang mengadakan keonaran itu?
KARNAEN : Sudah pergi setelah meninju saya pula. Tapi kalu dicari, dia belum jauh larinya. Dia mesti tertangkap, tuan. Mesti, sebab tangan saya sampai sakit begini.
POLISI : Sebelum dia meninju tuan, apa yang dilakukannya disini, sampai tuan tadi menelpon kami?
KARNAEN : Menghina nona itu. Saya tidak tahu bagaimana menghinanya, Cuma ketika saya datang disini, kedapatan mereka sedang bertengkaran kata. Sebagai orang disini, saya lalu menyuruh orang itu pergi meninggalkan tempat ini. Tapi membatu, sampai terpaksa saya menelpon polisi.
POLISI : (kepada Ani). Nona dihina bagaimana oleh orang itu?
ANI : Sebenarnya orang itu sudah sering datang disini, tapi tidak selalu datang untuk belanja. Begitu pula tadi, datangnya hanya untuk duduk di atas meja. Ketika saya cela perbuatannya, dia malah terus mencela pekerjaan saya, caranya seperti di rumah sendiri terhadap bujangnya, dengan mengeluarkan kata-kata yang tak patut dikatakan.
POLISI : Apa katanya kepada nona?
ANI : Bahwa saya disini menjual kecantikan, bahwa saya disini jadi pendusta, penipu. Lagipula ia berkata dengan marah-marah.
POLISI : Nona tidak bersikap apa-apa terhadap dia?
ANI : Saya usir, tapi dia membatu.
POLISI : Tidak ada sangkaan, kalau-kalau orang itu gila?
KARNAEN : Boleh jadi dia setengah matang, sebab pakaiannya juga sudah tak keruan, rambutnya kusut, mukanya seram.
POLISI : Tidakkah orang itu memakai celana hitam, bajunya putih sudah kotor disebelah punggungnya?
KARNAEN : Ya, betul dia.
POLISI : Badannya tinggi kurus?
KARNAEN : Ya.
POLISI : Pelancongan! Tapi dia mudah dicari.

ADEGAN 17
SUDARMA : (masuk diiringkan Usman). Who, ada apa?
KARNAEN : Pelancongan membikin keonaran disini.
SUDARMA : Lantas?
KARNAEN : Ya, polisi ini hendak menguruskannya.
SUDARMA : Mana orangnya sekarang? Kok, berani benar membikin keonaran di rumah makanku. Apa yang dilakukannya disini?
KARNAEN : Dia menghina Ani, meninju saya dan terus lari, karena itu (kepada polisi) akan tuan cari bukan?. Sebab saya tidak merasa puas.
POLISI : Kalau betul orang itu sebagaimana yang saya lukiskan tadi, niscaya saya dapat mencarinya. Kami dari pihak polisi sudah tahu dimana dia sering ada.
KARNAEN : Saya rasa, betul, tak salah lagi dialah orangnya.
POLISI : Baik, tuan, saya akan menjalankan kewajiban. Jika ia sudah diketemukan, nanti tentu dibawa kemari. Dalam satu jam ini, jangan tuan dan nona pergi dulu dari sini, sebab bagaimanapun juga, dalam satu jam ini saya akan datang lagi kesini memberi kabar.( melangkah hendak keluar).
SUDARMA : Nanti dulu! Sebagai yang punya rumah makan , saya memberatkan pengaduan anak saya itu, sebabbagaimanapun juga, orang yang membikin keonaran disini berarti hendak merugikan perusahaan saya, bukan?
POLISI : Betul.

SUDARMA : Nah, dari itu saya sangat mengharap, supaya dia lekas tertangkap, inign segera kulihat batang hidungnya.
POLISI : (terus pergi keluar).
SUDARMA : (berjalan menuju meja tulis). Ada-ada saja, rumah makanku mau dijadikan tempat adu tinju. (kepada Karnaen). Tapi tidak engkau yang salah?
KARNAEN : Kalau saya yang salah, saya tidak akan berani menelpon polisi.
USMAN : Bagaimana sih, asalnya?
KARNAEN : Dia orang setengah matang, paman. Mulanya datang disini mendapatkan Ani, waktu saya tidak ada. Ketika saya datang disini, kedapatan Ani dan dia sedang bertengkaran kata.
USMAN : O, begitu? (kepada Ani). Apa yang ditengkarkannya, An?
ANI : Dia mnghina saya, mengganggu saya.
USMAN : Tapi begitulah selama engkau tidak kawin. Engkau akan selalu diganggu orang, akan selalu merasa tidak aman. Karena itu kunasihatkan, supaya lekas saja kawin. Orang kawin nyata mendekati keselamatan, menjauhi kecelakaan. Tidak sia-sia Tuhan mengadakan aturan mesti kawin kepada umatnya.
ANI : Tetapi itu bukan lantaran saya tidak kawin, paman. Orang itu tidak sopan saja , boleh jadi setengah matang.
USMAN : Kalau engkau punya suami, kan tidak akan ada lagi laki-laki yang mau mengganggu engkau.
SUDARMA : (menghitung uang di atas meja tulis). Tapi kalau dia sudah kawin, berarti akan meninggalkan pekerjaan disini. Itu tak hendak kuijinkan.
USMAN : Apa alangannya setelah kawin dia tetap bekerja disini? Dengan begitu malah memberi kesucian kepada rumah makan ini, sebab nanti tidak akan ada lagi laki-laki yang datang disini dengan maksud hanya main-main dengan Ani. Betul tidak, An?
ANI : Betul juga, paman.
USMAN : Nah, kawinlah! Jangan jauh mencari suami, kawinlah dengan Karnaen.
KARNAEN : Tidak, paman. Dia sudah ada mempunyai pemuda yang diidam-idamkannya.
USMAN : Lho, siapa?
KARNAEN : Suherman, kapten tentara.
USMAN : Ah, kukira dia akan kawin dengan kamu.
SUDARMA : Mentang-mentang engkau kyai, engkau dimana-mana terus saja menganjurkan kawin kepada orang yang belum kawin. Seperti engkau saja yang nanti hendak membelanjai ongkos rumah tangga suami isteri itu.
USMAN : Aku bicara atas nama pagar keselamatan.
SUDARMA : Nanti dulu, jangan membicarakan kawin. Kawin perkara gampang, asal si laki-laki sudah ada uang, tinggal jadi (kepada Ani). Tapi, An, tadi tidak ada telpon untukku?
ANI : Ada.
SUDARMA : Dari siapa?
ANI : Saya lupa menanyakan dari siapa-siapanya.
SUDARMA : Kok lupa! Kan tadi aku berat berpesan supaya yang menanyakan aku, mesti kau catat dan ditanya apa keperluannya. Jika begitu, sia-sia saja aku menggaji orang disini.
ANI : (menundukkan kepala).
SUDARMA : Itu berarti melalukan keuntungan. Sebab orang yang menelpon itu sudah pasti berurusan dagang.
ANI : Saya tadi…… sedang kacau ingatan+.
SUDARMA : Ah, kacau ingatan! Hanya yang sakit rohani, kacau ingatan.
USMAN : Memang sudah biasa, kacau ingatan itu jadi penyakit orang yang belum kawin.
ANI : (menyapu-nyapu mata).
USMAN : Mengapa engkau menangis, An? (menghampiri).
ANI : Saya……… saya ingat kepada nasib, paman.
USMAN : Tapi mengapa mendadak sekali?
ANI : Saya ini sendiri di dunia, tak ibu, tak bapa. (sedih). Dan orang yang saya anggap tempat menumpangkan diri, ternyata tidak sayang. (mengisak).
USMAN : (menyapu-nyapu rambut Ani). Sabar, nak, sabar. Orang sabar dikasihani Tuhan…….
KARNAEN : (pergi kearah pintu keluar).
SUDARMA : (tercengang memandang Ani).

ADEGAN 18
SUHERMAN : (masuk heran memandang).
KARNAEN : (melihat kepada Ani, melihat kepada Suherman). Dia menunggu saudara, kapten Suherman.
SUHERMAN : Menuggu saya bagaimana? Ada apa sih yang terjadi di sini? Ada apa yang terjadi, An?
ANI : (menyapu mata). Tidak… tidak ada apa-apa.
SUHERMAN : Saya tidak mengerti. (kepada Karnaen). Apa maksud saudara dengan dia menunggu saya itu?
KARNAEN : Bukankah saudara cinta kepadanya?
SUHERMAN : Tapi apa salahnya saya mencintai dia?
KARNAEN : Cinta saudara tentu tidak hanya cinta saja.
SUHERMAN : Ya, lantas?
KARNAEN : (memandang kepada Usman).
USMAN : Begini, anak muda. Menurut kebiasaan, cinta itu adalah bunga dari perkawinan. Jadi……
ANI : (menyembunyikan muka dibelakang kedua belah tangan). Sudah! Sudah! Jangan aku terus diombang-ambingkan. (mengisak).
SUHERMAN : Rupanya saya datang disini sangat tidak kebetulan. Lebih tidak kebetulan lagi, karena baru sekali ini saya mendengar orang hendak turut campur dengan cinta saya. Dalam cita-cita saya, saya datang disini akan menemui kebahagiaan, tapi tenyata malah disambut dengan hendak didikte, bahkan rupanya hendak disuruh kawin. Saya bantah perkataan yang menyatakan, bahwa cinta itu bunga dari perkawinan, saya tentang anggapan saudara-saudara yang memandang saya rendah, menyamakan saya kepada anak kecil yang dimestikan menelan segala yang disuapkan kedalam mulutnya.
USMAN : Ah, kamipun tidak memandang rendah kepada tuan.
SUHERMAN : Orang menyuruh saya kawin itu tidak memandang rendah, tidak menganggap saya ini orang tolol yang tidak tahu arti cinta kepada perempuan? Tidak, saya tidak merasa senang dengan perkataan saudara. Saya malah merasa dihina.
USMAN : Saya juga tidak hendak menyuruh kawin.
SUHERMAN : Habis? Sangka saudara, saya mencintai perempuan itu untuk kawin?
USMAN : Maksud kami tidak begitu, tapi……
ANI : Sudah! Sudah! Saya tahu bahwa orang hanya suka kepada senyumanku, tidak suka kepada air mataku. (menangis pergi ke belakang).
SUHERMAN : Betul-betul datang saya disini sial! (melangkah).
SUDARMA : Nanti dulu, tuan. Duduk-duduklah dulu. Minum kopi susu atau susu coklat? Nanti Ani melayani tuan.
SUHERMAN : Tidak, saya tak mau minum apa-apa dan tak akan datang lagi di sini. Selamat tinggal! (terus berjalan keluar).
SUDARMA : (kepada Usman). Engkau juga yang mengacaukan. Engkau menghendaki keselamatan, tapi sikapmu mengacaukan, merugikan rumah makanku. (mengeluarkan surat-surat dari dalam tas, duduk menghadap meja tulis). Rumah makanku mau dijadikan tempat tukang gado-gado. Seperti tiada lagi soal yang lebih penting dari perkara kawin! (menyusun surat-surat). Hh, kawin! Kawin!
USMAN : (mengambil botol limun dari lemari, menuangkan isinya kedalam gelas, lalu duduk, minum).

ADEGAN 19
POLISI : (masuk mengiringkan Iskandar).
KARNAEN : (berdiri menyambut).
POLISI : (kepada Karnaen). Betul ini, orang yang tuan maksudkan itu?
KARNAEN : Ya, betul.
POLISI : Tapi, mana nona yang tadi?
KARNAEN : Ada di dalam (kepada Usman). Coba panggil dia, paman.
USMAN : An! Ini polisi datang! Kesini kau sebentar.
ANI : (tampil dengan perangai kusut).
POLISI : (kepada Ani). Inikah orang yang tadi menghina nona itu?
ANI : (hampir tak kedengaran). Ya.
POLISI : (kepada Iskandar). Tadi engkau sudah datang di sini dan mengadakan keonaran di sini. Engkau sudah menghina nona itu dan meninju tuan ini. Betul tidak?
ISKANDAR : Saya meninju dia, sebab dia hendak menahan saya di sini.
POLISI : Menahan bagaimana?
ISKANDAR : Saya mau pergi dari sini, tapi mengapa dia memegang bahu saya?
KARNAEN : Sebab dia hendak lari meninggalkan dosa, mencela mengejek perbuatan saya menelpon polisi. Dikatakannya bahwa hati saya lebih kotor daripada kakus.
POLISI : (kepada Iskandar). Betul engkau pernah berkata begitu?
ISKANDAR : Ya, sebab saya merasa sebal, mengapa setelah dia turut campur dengan urusan saya dan perempuan itu, lalu membawa-bawa polisi pula.
KARNAEN : Tapi saya menelpon polisi, setelah dia takmau diusir, setelah saya peringatkan pula, bahwa bila dia tidak mau pergi, saya akan minta bantuan polisi. Saya menelpon polisi sebagai orang yang tak mau berselisih, sekalipun dia sudah seakan-akan menantang berkelahi dengan mengejek menyebut tak sedap melihat muka saya.
ISKANDAR : (tajam menatap mata polisi). Saya akan ditahan?
POLISI : Ya.
ISKANDAR : (dalam mulut). Akibat perempuan…… pendusta, penipu.
POLISI : Jangan ngomel lagi. Ayo, kita pergi!
ANI : (bangkit dari duduk). Nanti dulu!
POLISI : Ada apa lagi, nona?
ANI : Mengapa dia disalahkan?
POLISI : Who, kan kata nona tadi dia menghina nona. Itulah salah satu dari kesalahannya.
ANI : Tidak! (maju ke depan). Dia tidak salah. Sayalah yang salah. Kalau harus ditahan, sayalah yang mesti ditahan. Jangan dia, sebab dia tidak bersalah.
POLISI : Salah bagaimana?
ANI : Saya tadi tidak terus terang, bahwa saya sesungguhnya….. sesungguhnya dia tidak menghina saya. Sebaliknya, saya yang menghina dia.
POLISI : (memandang orang lain). Jadi…. Jadi perkataan nona tadi, bahwa dia menghina nona itu tidak benar?
ANI : Ya.
POLISI : Tidak benar dia sudah melahirkan ejekan, menyebut penipu dan sebagainya kepada nona?
ANI : Betul dia berkata begitu, tapi tadi saya dungu, tidak mau terus terang, bahwa sebenarnya…… sebenarnya apa yang dikatakannya itu mengandung kebenaran, bahwa sebenarnya saya sudah dusta kepada diri sendiri dan kepada orang lain.
POLISI : Jadi nona sekarang merasa puas, sehingga urusan ini tidak perlu dilanjutkan?
ANI : Ya.
KARNAEN : Tapi saya belum puas dan minta supaya perkara ini dilanjutkan.
ANI : Boleh dilanjutkan juga, dan saya sedia masuk bui.
POLISI : (kepada Karnaen). Soal ini jadi soal remeh yang tidak perlu dibawa keatas, tuan. Asal antara tuan dan dia tidak ada lagi perasaan apa-apa (kepada Iskandar). Engkau masih dendam kepada tuan ini?
ISKANDAR : Buat apa dendam kepadanya, terikat oleh lolongan anjing di tepi jalan hidupku?
POLISI : Maksudku, mau engkau dantuan ini maaf-memaafkan?
ISKANDAR : Sejak saya meninggalkan dia tadi, dia sudah kumaafkan.
POLISI : (kepada Karnaen). Dia sudah mengatakan begitu, tuan. Tinggal pihak tuan.
KARNAEN : (melihat kepada orang lain).
POLISI : Tuan mau memaafkan dia atau tidak?
KARNAEN : (perlahan-lahan). Ya, saya maafkan.
RUKAYAH : (masuk, heran memandang).
POLISI : Perkara ini sudah beres, (kepada Iskandar). Engkau boleh pergi, tapi perhatian polisi kepadamu lebih daripada waktu yang lalu, terutama sebelum engkau mengubah laku sebagai pemalas, engkau akan terus diperhatikan polisi.
SUDARMA : Awas! Sejak sekarang, engkau tak boleh datang lagi disini. Sekali lagi engkau berani melancong kesini mendekati nona itu, akan kau tahu rasanya nanti.
ISKANDAR : (melangkah hendak keluar).
ANI : Nanti dulu!
ISKANDAR : (berhenti berjalan memandang Ani).
ANI : Tunggu dulu! (pergi ke belakang).
KARNAEN : (berdiri memandang Ani).
POLISI : Dia mau apa lagi?
SUDARMA : (tercengang). Entahlah!
RUKAYAH : (menghampiri Usman). Ada kejadian apa, paman?
USMAN : Walahualam. Kita lihat saja.

ADEGAN 20
ANI : (tampil membawa koper).
USMAN : Mau kemana, An?
ANI : Saya mau keluar dari sini.
SUDARMA : Nanti dulu! Nanti dulu! Jangan tergesa-gesa begitu, An. Siapa yang menyuruh engkau keluar dari sini? Aku sayang kepadamu dan berjanji akan menaikkan gajimu, asal jangan pergi dari sini.
ANI : Tidak! Saya tak hendak diikat lagi. Saya mau hidup merdeka.
SUDARMA : Ah, merdeka, merdeka bagaimana? Nanti engkau sukar mencari lagi pekerjaan, mencari kesenangan seperti di sini.
ANI : Saya tidak senang di sini, karena itu saya mau pergi. Saya harus jauhi segala kepalsuan dalam rumah makan ini, dan akan pergi bersama orang jujur.
SUDARMA : Orang jujur? Siapa?
ANI : (menunjuk Iskandar). Dialah yang jujur.
ISKANDAR : (tegak memandang Ani).
SUDARMA : Dia jujur katamu? Dia pelancongan, An! Jangan matamu melek, tapi tidak melihat.
ANI : Mata saya melek dan melihat, bahwa kebenaran ada padanya. Dia betul tidak bekerja, tapi (kepada Iskandar). Jika engkau sudah tidak merasa sendiri lagi di dunia, akan mau engkau bekerja?
ISKANDAR : Ya, tentu.
ANI : Mau engkau hidup bersama aku?
ISKANDAR : Mengapa tidak?
ANI : (kepada Sudarma). Gaji saya yang belum dibayar, saya minta supaya dihadiahkan kepada fakir miskin. (kepada Karnaen). Mas, saya doakan, mudah-mudahan mas segera mendapatkan istri yang cakap mengurus rumah tangga. (pada Rukayah). Ruk, aku akan pergi!
RUKAYAH : (memegang tangan Ani). Tak salah kiranya kataku tadi, An.
ANI : Bukan, Ruk, aku yang sekarang bukan lagi aku yang tadi kau sindir. Aku akan berhenti main sandiwara dan akan pergi bersama musuh-tapi-kawanku, mengawani dia sebagai perempuan yang akan berjuang berdampingan.
RUKAYAH : Engkau berkata lain dari tadi. Jika tadi aku mengatakan iri padamu untuk menyindir belaka, sekarang aku mengiri padamu dengan sesungguh-sungguhnya.
ANI : Tapi, Ruk, apa yang mesti kau irikan, kalau aku sekarang masih juga aku yang tadi? Marilah kita pergi bersama.(melangkah).
ISKANDAR : Kopermu, tidak berat?
ANI : Mau kau bawa?
ISKANDAR : Ya, sebagai laki-laki.
ANI : (menyerahkan koper).
POLISI : Nah, jika begitu engkau tidak malas, tidak lagi dicurigai polisi.
USMAN : Nanti dulu! Kamu berdua akan kawin?
ANI : Bisa jadi, paman.
USMAN : Jika demikian, kusampaikan doa, moga-moga kamu berdua dilindungi dan dikaruniai Tuhan selalu.
ANI : Mari, Ruk, kita pergi! (berjalan keluar disampingi Rukayah, diiringkan Iskandar).

ADEGAN 21
POLISI : (menepuk dahi). Bingung juga kepalaku memikirkan mereka! (pergi keluar).
SUDARMA : (kepada Usman). Engkau juga yang jadi gara-gara semuanya ini. Engkau dengan anjuranmu : kawin! Kawin!
USMAN : Tapi aku menganjurkan kawin, tadinya aku mau menolong anakmu.
SUDARMA : Bah! Menolong apa?
USMAN : Anakmu sudah lama ada cita-cita mau memperistrikan Ani. Dia minta tolong kepadaku supaya Ani mau kawin dengan dia.
SUDARMA : (kepada Karnaen). Betul, Karnaen?
KARNAEN : Ya, saya yang sial……


LAYAR
Priangan, Januari 1947
Diketik ulang oleh PPPG Kesenian Yogyakarta
Januari 2007