KESENIAN

SELAMAT DATANG
DI BLOG LooKM4N G4R3NG.
BLOG INI TERLAHIR KARENA KEINGINTAHUAN DAN KEHAUSAN
TENTANG KESENIAN

Selasa, 06 April 2010

Naskah "Saijah Dan Adinda"

SAIJAH DAN ADINDA

Karya : MULTATULI

Reproduksi : Aryaguna

Dari Saijah dan Adinda

Cuplikan dari “MAX HAVELAR”

BABAK I

Matahari menjelang tenggelam di desa parangkujang. Kelihatan Saijah, Santari dan Mad Dorat sedang istirahat di jalanan pinggir hutan. Beberapa tonggak kayu bekas di tebang mencuat dari tanah. Beberapa saat hening, antara mereka tak saling berkata. Kemudian Saijah mengeluh dan berkata.

SAIJAH : Lima belas tahun di sini, bukan sebentar. Berat sekali disuruh pindah begitu saja. Sungguh berat meninggalkan tanah. (menarik nafas panjang) Tanah adalah sebagian dari hidup kita, dan meninggalkan tanah adalah seperti meninggalkan sebagian dari nyawa. Kalian kan ngerti ini! Tidak ada anak tani yang meninggalkan tanah tempat ia dilahirkan!! (tempo) Air yang mengalir dalam tanah merupakan darah sendiri dalam tubuhnya, dan dia tidak bisa rela memberikan darahnya. Dan kalau dia juga dipaksa pergi… ah, adakah orang yang rela begitu saja memberikan darahnya?! Itulah anak tani. Tidak bisa dipaksa! Tapi kalau tanah sudah kering, itulah pula berarti darahnya kering sudah, seperti aku… kalau sudah kering, aku mau apa lagi di sini, di atas tanah kering…

MAD MORAD : Masih banyak bagian lain tempat yang akan dikerjakan.

SAIJAH : Tapi siapa menjamin, bahwa itu aman bisa dikerjakan.

MAD MORAD : Tapi pak Kliwon dengan keluarganya malah pindah ke tempat sebelah sungai itu.

SAIJAH : Ya, dia baru datang ke sini, Mad, dan mengapa dia kemari? Aku sendiri tidak tahu… menurut kata orang di tempatnya, dulu dia punya apa-apa.(sinis) sekarang dia malah punya kerbau sendiri.

SANTARI : Dia usaha sendiri barangkali.

SAIJAH : Kalau betul dia usaha sendiri, tentu dia hidupnya enak. Dan kalau dia hidup tenang di tanahnya, masa dia mau pindah!

SANTARI : Kalau begitu darimana?

SAIJAH : (dengan cemooh) darimana… memang tidak ada orang yang bisa tahu. Cuma orang tahu, sesudah pak Kliwon pergi, dia yang mula mula mau pergi dari situ juga kawan-kawannya pergi dari situ. Dan Kanjeng Bupati yang kasih salam sama pak Kliwon. Pak Kliwon perginya gembira tapi kawan-kawannya tak gembira seperti pak Kliwon.

MAD MORAD : Kalau begitu untung sekali pak Kliwon.

SAIJAH : Untung sampai nanti darahnya jadi kering?!

SANTARI : Mengapa sampai darahnya, Jah?

SAIJAH : Dia untung sampai darahnya kering, Santari, dan sampai dia tidak punya kerbau lagi!!

MAD MORAD : Kenapa begitu?

SAIJAH : Sekarang dia punya kerbau, dia enak. Tapi siapa yang menjamin bahwa dia boleh terus tinggal di atas tanah yang dia diami sekarang, dan dia boleh terus punya kerbau? (sejenak hening)

SANTARI : Kan Kanjeng Bupati yang kuasa kasih tanah.

SAIJAH : Nah , jadi Kanjeng Bupati yang kuasa semua. Ah, sejarah lama akan berulang. Juga bapaku dulu begitu, tapi tetap dia tidak mau, dan karena itulah, begini jadinya aku. Dia juga disuruh pindah, tapi…

SANTARI : Tapi…?

SAIJAH : Tapi dia ingkar, dan apa yang terjadi, kau tahu? Si hitam kerbauku hilang! Si hitam yang telah menolong aku dari bahaya maut. Kalian tahu bagaimana hebatnya dia berkelahi? Harimau itu sudah bukan main dekatnya – aku terjerambab di tanah. Tapi si hitam – dia sedia. Perut harimau dia makan dengan tanduknya, terburai keluar ususnya. Kepalanya luka…(diam sebentar – berubah sedih) dan kalian bayangkan, bagaimana sedih hatiku, ketika si hitam ditarik keluar, dipaksa, dan dia seakan-akan mengerti tidak mau bercerai dengan aku, tapi yang paling sedih ibu, karena dia… bapa tentu juga sedih… yang mengobati si hitam dengan daun, dia tahu, luka bekas kuku di leher si hitam yang keras dan tebal itu akan menjadi luka di tubuh anaknya yang sangat lunak. (tempo) manusia kan mesti tahu balas guna. Sedangkan binatang juga tahu membalas guna. Cuma saja manusia biasa lupa semuanya, kalau dia sedang senang.

SANTARI : Masa dia boleh begitu, Jah? Apa boleh saya mengambil kerbau orang?

SAIJAH : Betullah kau masih kanak-kanak. Kau terlalu lurus, dik, memang benar tidak hak seorang untuk merampas hak orang lain. Kecuali… ada kecualinya ! Kecuali yang merampas itu berkuasa!

SANTARI : (bersama Mad Morad) lho?!

SAIJAH : Kecuali yang merampas itu berkuasa, kataku. Dia dapat berbuat sekehendaknya karena segala kekuasaan ada di tangannya. Lebih dari kerbau dapat diambilnya. Nyawa kitapun…

MAD MORAD : Tapi siapa yang mengambil kerbaumu dulu, Jah?

SAIJAH : (agak meradang) Siapa lagi kalau bukan yang berkuasa!

MAD MORAD : Ya, siapa yang berkuasa?

SAIJAH : Masa kau tidak tahu, kan tadi sudah kukatakan. Aku mau Tanya: siapa yang berkuasa atas tanah kau tinggal? (memandang Satari) siapa yang meminta pajak pernah kau lihat pada ayahmu?

SANTARI : Kepala desa, jadi, kepala desa yang mengambilnya?

SAIJAH : Dia tentu tidak. Dia Cuma melaksanakan perintah.

SANTARI : Perintah siapa?

SAIJAH : Perintah atasannya. Tuan Camat.

SANTARI : Dan tuan Camat?

SAIJAH : Tuan Camat menjalankan perintah atasannya, tuan Wedana.

SANTARI : (ragu) kemudian…

SAIJAH : Ya… pada akhirnya kau tahu juga, bahwa perintah itu datang dari orang yang berkuasa di daerah Lebak ini. Itulah Kanjeng Bupati.

MAD MORAD : (kurang percaya) Kanjeng Bupati… masa, Jah? Kan itu ada tuan Residen – dia lebih tinggi. Dia tidak bisa bikin apa-apa?

SAIJAH : Tuan Residen mana maksudmu, Mad Morad?

MAD MORAD : (ragu) Tuan Residen… ka nada Tuan Residen…

SAIJAH : Oh, itu. Asisten Residen… ya, dia juga orang atasan, tapi dia tak bisa bikin apa-apa. Dia di sini tidak kuasa apa-apa kelihatannya 9tempo) tapi aku masih ingat betul, waktu mula-mula ia datang ke sini. Semua kepala-kepala dipanggil ke sini. Semua disuruh duduk di muka kantornya, dan dia pidato. Aku masih ingat bagian-bagian pidatonya. Hebat sekali. Dia datang ke sini dengan anak istrinya, dia senang tinggal di sini. Ah, hebat sekali pidatonya…

Black out – spot light (silhouette)

ASS RESIDEN : Tuanku raden Adipati bupati Banten Kidul, dan sekalian para raden Demang, yang menjadi kepala distrik di daerah ini, tuan Raden Jaksa, yang bekerja menegakkan keadilan dan tuan Raden Kliwon, yang menjalankan kekuasaan di ibu kota, dan sekalian para raden, mentri-mentri, serta sekalian kepala-kepala di daerah Banten Kidul. Terimalah salam saya… saya lihat bahwa rakyat tuan-tuan miskin, dan itulah yang menggembirakan hati nurani saya. Sebab saya tahu bahwa Allah cinta orang yang miskin, dan bahwa ia melimpahkan kekayaan kepada orang yang hendak diujinya, tetapi kepada orang yangmiskin diutusnya orang yang menyampaikan firman-Nya, supaya mereka bangkit dari kemelaratan… Kita bersuka cita bukan karena memotong padi, kita bersuka cita karena memotong padi kita yang kita tanam. Dan jiwa manusia tumbuh bukan karena upah, tapi kerja yang membikin ia berhak menerima upah… dan Residen di Semarang, yang adalah penguasa di wilayah Banten dimana berdiam lima kali seratus ribu manusia, ingin supaya keadilan berlaku di daerahnya, dan supaya berlaku keadilan di swapraja-swapraja yang patuh kepadanya…. Tuan-tuan kepala negri Lebak, kita semua menginginkan itu. Tapi jika ada orang diantara kita yang melalaikan kewajiban untuk mencari keuntungan, yang, menjual keadilan demi uang, atau merampas kerbau dari orang miskin, dan buah kepunyaan orang lapar… siapa yang akan menghukumnya? Tuan kepala negri Lebak, siapakah yang menjalankan keadilan di Banten Kidul? Dengarkanlah saya, jika saya katakana kepada tuan, bagaimana keadilan akan dijalankan….

Black out – fade in

SAIJAH : Ya, dia bilang, bahwa kita semua akan mati, baik yang berlaku adil, yang menjalankan hokum dan keadilan, yang tidak melakukan pemerasan terhadap si miskin, baik siapa yang menjual hokum kepada siapa yangmemberinya uang, yang tersenyum bahagia walau tak ada susu pada susu para ibu yang sedang menyusukan. Dia sangat mengharap perhubungan baik dengan tuan-tuan kepala Lebak, hidup dalam persahabatan, dia akan memberikan teguran lunak kepada yang berlaku sesat. Akan tetapi kepada yang menjalankan kesalahan yang lebih besar, yang melakukan paksaan dan penindasan, dia tak mau bicara lagi… hebat sekali (semua diam)

MAD MORAD : (setelah diam beberapa saat) dan apa jawab tuan-tuan di situ?

SAIJAH : (sambil geleng kepala) Oh, mereka diam semuanya. Kan berani Cuma pada yang kecil-kecil ini. (mencemooh) memang ada beberapa yang melihat kepada Kanjeng Bupati Lebak, tetapi tang lain-lain kebanyakan tunduk semua. (tempo-berubah sedih) tetapi… kerbau kami diambil, sebab bapa ingkar ikut perintah Kanjeng Bupati. Pikirnya! Kalau kerbau tidak ada, tentu tidak bisa kerja, tentu tidak bisa dapat uang, tidak bisa bayar pajak. Tentu dia bisa diusir. (tunduk berubah sedih) celaka sekali, memang bapa hampir menangis, si hitam dulu dibelinya dengan menjual keris pusaka kakek. Keris pakai sepuhan perak. Bagus sekali!

SANTARI : tapi sebelum itu kan kalian ada punya kerbau.

SAIJAH : Betul, ada. Tapi itu sudah lebih dulu diambil. Karena itulah bapa disuruh pindah tidak mau lagi. Waktu kerbau pertama dulu diambil, bapa tidak bilang apa-apa.

SANTARI : Mengapa diambil?

SAIJAH : (geram) Karena tuan Wedana perlu adakan pesta besar-besaran, kan anaknya yang perempuan kawin. Dan tuan Wedana adalah adik ipar Kanjeng Bupati (semua menarik nafas geram-sedih)

MAD MORAD : Tapi apakah semua ini dibiarkan Tuhan?

SAIJAH : (tenang) Yah.. nasib, dibiarkan Tuhan atau tidak, entah! Tapi begitulah jadinya, dan lenyap pula bapa. Bapa lari dari rumah, karena kalau dia tidak bisa bayar pajak, bukan saja diusirnya, tapi dia akan dihukum. Pusaka dia tidak ada lagi, karena kakekpun, bapanya, tidak punya apa-apa. Kerbaunya diambil Kanjeng Bupati yang sekarang ini, masih dicobanya dengan menyewa kerbau, tapi sungguh sakit kerja demikian kalau sudah biasa kerja dengan kerbau sendiri, sama susahnya dengan kita sekarang kita sekarang. Dari tanah yang sudah kita tanam dan kerjakan sejak kecil disuruh pindah ke tanah yang belum pasti baik.

SANTARI : Memang sakit memberikan apa yang menjadi hak kita, apalagi kalau dirugikan. (semua diam mengikuti pikiran masing-masing)

MAD MORAD : Sudah itu kemana bapamu, Jah?

SAIJAH : (tenang) ibu terlampau bersusah hati karena bapa pergi, dan ini membuat dia sakit… dan meninggal dunia, dan entah bapa mengetahui ibu tidak ada, pikirnya bertambah kalap, dia lari lebih jauh, lari dari Lebak. Dan tinggal aku tak menentu… (tempo) dan sejak itu aku diambil oleh bapa si Adinda. Sungguh aku berterima kasih sangat kepada kebaikan orang tua itu.

MAD MORAD : (menatap Saijah) Kau tidak berhutang budi apa-apa, Jah. Antara tani dengan tani tak ada hutang! Antara tani dengan tani ada hubungan nasib yang sama dipertahankan mati-matian, dan kesatuan nasib ini, siapapun tidak bisa memecahkan, juga tidak Kanjeng Bupati yang menguasai daerah ini!

SANTARI : Karena itu, sebaiknya engkau tetap tinggal di sini, baik di sebelah sana kita mulai membantu.

SAIJAH : Bagiku soal lain, kakek dan bapaku, keduanya turun temurun dirampas Kanjeng Bupati, dan aku lihat rumah gubugku itu, sejak kutinggalkan lama, makin lama makin tua, sampai rubuh. Ya, aku tidak punya apa-apa lagi, tapi biarpun demikian, aku masih menjadi incaran Kanjeng Bupati, karena bapa ingkar, yang sudah kering darahnya dihisap, kemudian ditangkap lagi sesudah melarikan diri, alasan mudah dicari, sebagai mudahnya mencari tongkat pemukul anjing, dia dipersalahkan meninggalkan Lebak ini tidak dengan surat keterangan, dan polisi membawanya kembali ke Badur.

MAD MORAD : Mau kemana bapa rupanya?

SAIJAH : Dia mau cari makan ke bogor, tapi dia dikirim kembali ke Badur, dan dia dimaukkan dalam penjara. Bukan karena tidak bayar pajak, tapi karena dia dinyatakan gila, dan lihat, mudahnya orang cari : alas an untuk memasukkan orang dalam, penjara. Soal sebenarnya, tentu mereka takut bapa akan gelap mata dan mengamuk, sebab sesabar-sabarnya manusia tentu ada batasnya. Tapi bapa tidak lama dalam penjara, dia segera mati, darahnya sudah kering, dan untuk mencabut nyawa yang masih ada sedikit lagi itu, tidak sukar. Untuk ini dia tidak perlu payah-payah membunuh diri karena kekesalan.

(Semua diam, matahari makin membenam. Saijah berdiri memandang kejauhan yang lain memandangnya dengan saying)

SAIJAH : (Berbisik) Ah, itu Adinda. Dia mau menuju kemari.

SANTARI : Kalau begitu biar kami pergi, tentu dia perlu ada apa-apa dengan kau.

(Santari dan Mad Morad pergi – Adinda datang – Saijah memandang dengan gembira tertahan – Adinda mendekati lamat-lamat)

SAIJAH : (Lambat) Kau lewat dari tempat kami tinggal dulu, Adinda?

ADINDA : Ya, baru aku lewat dari sana.

SAIJAH : Dan apa yang kelihatan olehmu dari sana?

(Adinda tidak menjawab. Dipandang Saijah mukanya – Adinda tunduk – lamabat dia duduk ke atas sebuah tonggak kayu)

ADINDA : (Sayu) Abu, tumpukan tanah bersama kotoran sampah.

SAIJAH : (Menarik nafas, memandang wajah Adinda) Di Lebak banyak tumpukan tanah seperti itu, tanda derita. Karena itulah aku akan pergi, aku tidak mau bapamu akan mengalami macam-macam pula oleh karena aku, dan alasan seperti kau tahu mudah dicari, semoga kau dan orang tuamu selamat, Adinda.

ADINDA : Tapi kau belum tahu kemana kau akan pergi, kemana yang kau tuju?

SAIJAH : Oh, aku akan ke kota, Adinda, bukan ke Bogor, bukan… bapa hendak kesitu tapi tak bisa, aku mau ke Betawi.

ADINDA : Apa yang hendak kau lakukan? Kau hanya tahu tani.

SAIJAH : Di Betawi gampang cari uang. Di kota banyak tuan-tuan gagah naik bendi, dan tentunya tuan-tuan itu bisa memakai aku jadi suruh-suruhannya mengurus bendi. Untuk mengurus bendi tentu dia cari orang muda seperti aku, dan kalau rajin tentu akan banyak uang.

ADINDA : (Gembira campur haru) Saijah…

SAIJAH : Ya… dan kalau terus rajin dalam tiga tahun, uangku cukup buat beli dua kerbau (berpikir sebentar, lalu mendekati Adinda dan duduk di sampingnya di atas tonggak) Adinda, coba pikir, kalau aku kembali, kita sudah bisa kawin, kita sudah punya dua kerbau!

ADINDA : Baik, sekali, Saijah! Aku mau kawin dengan engkau, kalau kau kembali, dan selama kau pergi, aku akan rajin menenun, bikin sarung dan selendang, membatik, aku akan rajin selama itu.

SAIJAH : Aku percaya padamu, Adinda. (ragu) tapi kalau kudapati kau kelak telah kawin dengan orang lain?

ADINDA : (Tertegun sebentar) Saijah… kau kan tahu, bahwa aku tidak akan kawin dengan siapapun selain engkau. Bapaku telah berjanji dahulu dengan bapamu.

SAIJAH : Bapamu dan bapaku… tapi kau sendiri?

ADINDA : (Tersenyum) Sudah tentu, pasti. Mengapa kau binbangkan. (tempo)

SAIJAH : Kalau aku kembali, dari jauh akan aku serukan…

ADINDA : Siapa bisa mendengarnya kalau kami menumbuk padi di kampung?

SAIJAH : Oh ya… betul juga, tapi Adinda… (sebentar pikir) yah beginilah, tunggu aku di hutan jati, di bawah pohon ketapang, tempat kau dulu memberikan melati padaku.

ADINDA : Tapi Saijah, bagaimana kutahu kalau aku harus kesana menunggu di bawah pohon ketapang?

SAIJAH : (Sejenak) hitunglah bulan! Tiga kali dua belas bulan aku akan pergi. Bulan ini jangan turut dihitung. (memandang kejauhan) dan Adinda tiap bulan terbit, berilah tanda guritan pisau di lesungmu, dan kalau kau telah menarik tiga kali dua belas guritan,… pada hari berikutnya, aku akan menunggu di bawah pohon ketapang. (menatap Adinda) maukah kau berjanji Adinda?

ADINDA : (Mengangguk tenang) Saijah, ya. Jika kkembali, aku pun menunggu di bawah pohon ketapang, dekat pohon jati, apakah tanda mataku untukmu Saijah?

(Saijah menatap terus – Adinda menyobekkain selendangnya – diberikan kepada Saijah – Saijah menyobek ikat kepalanya dan diserahkan Adinda – Saijah mengambil melati dari kantongnya dan membungkus dengan kain sobekan selendang Adinda)

SAIJAH : Inilah melati pemberianmu dulu, Adinda. Aku akan selalu mengenangmu…

(pelan-pelan lampu padam)

BABAK II

Hari malam, di jalan ke Badur dekat hutan jati, ada pohon ketapang pohon-pohon lain dan beberapa tonggak pohon. Kelihatan Saijah agak bingung. Kemudian diletakkannya bungkusan bawaannya. Kotak bambu dibukanya, dikeluarkannya pas dan surat-surat keterangan, pada bumbung bambu yang lain diikat dengan kulit ada kotak bambu.

Di timbang-timbangnya dengan gembira, kemudian dikeluarkannya isinya, dihitung-hitungnya, di pinggangnya ada keris, dipegang-pegangnya pula kemudian di bukanya. Ada ikat pinggang berkilat, di sediakannya untuk Adinda, segala bawaannya itu dihadapinya dengan gembira. Saijah duduk kelihatan gelisah – tidak sabar. Sesudah agak tenang dipegangnya tali yang terikat di lehernya, keluar satu bungkusan sutera, dibuka: bunga melati layu, diciumnya. Saijah memandang jauh, dengan tak sadar berkata:

SAIJAH : Di sanalah Badur… (diamatinya pohon satu persatu)

(terdengar suaranya sendiri – se:

* hitunglah bulan, tiga kali dua belas bulan aku akan pergi, Adinda. Tiap bulan baru terbit, guritkan tanda pisau di lesungmu.

(Saijah termenung. Kedengaran suara lagi)

* laki-laki : Pada hari berikutnya aku akan menunggu di bawah pohon ketapang.

* papan : ya, Saijah. Aku akan menunggu di bawah pohon ketapang.

(Suara ini makin lama makin cepat – lama-lama bersaman Saijah berdiri)

SAIJAH : Hari masih malam…

(Menjatuhkan dirinya di bawah pohon ketapang – bersandar – angin malam mendesau. Saijah tertidur – angin terus mendesau membawa mimpi:

************** Adinda membelakanginya

SAIJAH : Ingin kupeluk kau Adinda (Saijah terduduk menatap bayangan Adinda) wajahmu, Adinda, kepalamu, bahumu, sanggulmu nian alangkah besarnya, hitam berkilat menggantung ke bawah…

(Bayangan Adinda membalik, menghadap pada Saijah, tersenyum) matamu yang besar, Adinda, berkilat – ah, bibirmu yang menyimpulkan senyum persis ketika kecil dulu kuganggu. Dadamu busung disembunyikan kebaya sarung yang kau tenun sendiri meliputi pinggangmu, Lutut kencana. (sejenak terpeona menatap adinda maju) Aku datang, Adinda.

ADINDA : (Maju menatap Saijah) Selamat datang Saijah.

(Suara makin jelas) kenangan senantiasa padamu jua ketika menenun dan menumbuk padi di lesung. Selamat datang, saijah. Jadilah aku istrimu – apa cerita perjalanan?

SAIJAH : (Gembira) aku di Betawi, Adinda, tiga tahun cari uang tidak jadi suruhan bendi, aku jadi pelayan. Tepat tiga tahun aku berhenti, gembira sekali aku kemari, Adinda.

ADINDA : Selalu Adinda terkenang dalam hati abang?

SAIJAH : Sejak berangkat dulu, Adinda, bila malam hari, dalam gelap, kukeluarkan melati pemberian adik, dibawah pohon ketapang. Sedih wajah adik tidak terpandang, berat adik bercerai kasih tiga tahun. Akan kembali hati di tengah jalan, tapi apa konon Adinda memandang abang berhati rapuh? Teruslah jalan, tangan menekan dada bersuntingkan melati dalam sapu tangan sutera.

ADINDA : Tiada sesalan dalam hati abang?

SAIJAH : Ada timbul sesalan, adik. Pertengkaran kita yang lalu sebelum abang berangkat. Ketika adik pasangkan tali laying-layang adik-adik kecil, aduan laying desa Badur lawan desa Cipurut, adik salah pasang, desa Badur kalah, abang marah mencerca adik. Timbul sesal sungguh: bolehkah abang sekejam itu pada adik? Aku yang menghamburkan kata-kata cerca pada gadis, sesal tiada putus, karena kalau aku mati di rantau orang, tiap orang Badur akan berkata: untunglah si Saijah telah mati, karena dia kurang senonoh pada si Adinda…

ADINDA : Saijah, Saijah…. !

SAIJAH : Adinda, Adinda…! (akan dipeluknya Adinda – hilang)

(Saijah terbangun, makin lama hari makin terang, Saijah memandang jauh)

SAIJAH : Ibu, bapa…

(disangkanya bungkusan bawaannya, berjalan menuju jurusan Badur, tapi sejurus kembali lagi)

Ah, mengapa aku ke Badur? Bukankah baik kutunggu Adinda di sini? (memandang jauh, gelisah, sebentar-sebentar berdiri dan duduk)

SAIJAH : (tiba-tiba berdiri) itu jauh orang datang. Perempuan! Itu Adinda!! (Sejenak memperhatikan – kesal) ah, bukan… (angin pagi terus mendesau) masih belum ada orang dari Badur jalan kemari… (bingung sedih – lalu duduk) ah, barangkali ia tertidur karena berjaga-jaga semalam. Tentulah sejak berminggu-minggu tidak tidur, kasihan… biarlah aku ke Badur! (berpikir sejenak) ah, mengapa aku bimbang? Kan pasti dia datang! Nah itu ada orang dengan kerbaunya (memperhatikan kejauhan) Pak! Pak! Pak! Ah, tidak kedengaran. Baiklah tidak kedengaran… mengapa pula aku bertanyakan Adinda, jangan bertanyakan Adinda, dia pertama kali aku lihat, pertama kali dia! Ah, pasti dia segera datang. Biarlah aku menunggu (sejenak terbayang kesabaran – gelisah lagi) tapi kalau dia sakit… atau mati?! (seperti orang kehilangan akal dia lari menuju Badur. Kedengaran suara ramai di kejauhan, tidak lama dia kembali, tertunduk, angin sedih mendesau. Suara ramai makin mendekat, tiba-tiba Saijah lari menuju suara, terdengar suara perempuan memanggil)

BIBI : Saijah! Saijah! (hening sebentar, bibi mendekati Saijah) kami mengerti kesedihan hatimu, kau mencari Adinda.

SAIJAH : Ya, dimana Adinda?

BIBI : Cerita lama, Saijah.

SAIJAH : Cerita lama… apa maksud bibi?

BIBI : (tenang) ketika kepala desa mengambil kerbau Adinda…

SAIJAH : Ahhh!...

BIBI : Ibu si Adinda sakit karena susah hati. Adik si Adinda yang kecil meninggal dunia, karena tiada ibu yang menyusukan, dan bapa si Adinda, yang takut dihukum karena tidak membayar pajak…

SAIJAH : Sudah, sudah!

BIBI : Bapa si Adinda berangkat menionggalkan Lebak. Adinda dibawanya dengan adik-adiknya.

SAIJAH : Kemana mereka pergi? (angin menyayat) Adinda, rumah rumah Adinda, bibi.

BIBI : (haru) di tanah rumah Adinda berdiri dulu, didirikan rumah baru.

SAIJAH : Dulu….

BIBI : Dulu apa?

SAIJAH : Lesung Adinda, lesung….

BIBI : Mengapa?

SAIJAH : Bibikah kawan Adinda menumbuk padi di kampung?

BIBI : Ya.

SAIJAH : Bisakah aku tahu dimana lesung Adinda?

(tak ada jawab)

(terdengar suara-s.e:

tiga kali dua belas bulan aku pergi, bulan ini jangan dihitung dan Adinda, tiap bulan baru terbit berilah tanda guritan dengan pisau di lesungmu, dan kalau kau telah menarik tiga kali dua belas bulan guritan, pada hari berikutnya aku akan menunggu di bawah pohon ketapang.

(suara perempuan: jika kau kembali, akupun menunggu di bawah pohon ketapang dekat hutan jati).

(suara semakin jelas, Saijah sejenak bingung)

BIBI : Saijah, Adinda sekeluarga telah pergi empat bulan yang lalu, dan lesung itu telah menjadi milik orang lain.

SAIJAH : (Menahan marah) bibi, katakanlah dengan hati yang pasti, kemana mereka pergi?

BIBI : Jauh sekali, nak. Lebih jauh dari penciuman patroli, yang selalu mencari-cari. Tapi Saijah, kesayangan desa Badur, marilah singgah ke pondok bibi dulu, Pak Lontah pasti gembira dan setuju. (Saijah mendekap dan mencium tangan bibi)

SAIJAH : Bibi yang baik hati. (lalu berdiri tegak) selama darah masih panas, selama derita menimpa Adinda dan kaumku… (tiba-tiba ketawa terbahak-bahak)

Pelan-pelan lampu padam

BABAK III

Dalam sebuah rumah gubug, menjelang senja, peralatan yang ada menunjukkan keadaan yang masih darurat, suasana hutan disekelilingnya membangunkan suasana tersendiri dalam rumah itu.

Spot light (silhouette)

ASS RESIDEN : Sudah saya katakana bahwa untuk sama sekali tidak menyampaikan berita-berita kecuali yang baik-baik kepada pemerintah, bisa jadi mentertawakan, sekiranya akibat semua ini tidak demikian menyedihkan.

Perbaikan apakah yang boleh diharapkan dari banyak kesalahan-kesalahan jika sebelumnya sudah ada maksud tertentu untuk membengkokkan segala-galanya dan memiuh berita-berita yang disampaikan kepada pemerintah…? Bukankah gas …(missing text)… Orang mengingkarinya, akhirnya berubah menjadi amarah, putus asa, mata gelap? Tidakkah di ujung jalan itu menunggu Jacquerie? Pemberontak rakyat? Dan dimanakah akan berada pejabat-pejabat itu yang sejak bertahun-tahun ganti-berganti, tanpa tiba pada pikiran bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi dari “kepuasan gubernur jenderal”, dimanakah mereka itu berada, penulis-penulis berita yang pengecut itu, yang menyilaukan mata pemerintah dengan kehongannya? Apakah mereka itu dahulu takut menuliskan kata yang berani di atas kertas, akan memanggul senjata dan mempertahankan negri jajahan untuk pemerintah Belanda? Apakah mereka itu akan mengembalikan kepada pemerintah Belanda harta benda yang diperlukan untuk memadamkan pemberontakan, mencegah revolusi? Apakah mereka akhirnya akan mengembalikan nyawa yang beribu-ribu orang yang jatuh menjadi korban karena kesalahannya?

Black out – fade in

Nampak Pak Entoh sedang duduk menikmati kopi, dan Adinda membersihkan ruangan.

PAK ENTOH : (sambil menghirup kopi) sebentar lagi mereka datang. Kau sediakan minum Adinda.

ADINDA : (berhenti menyapu) berapa orang pak?

PAK ENTOH : Pak Lontah, si Uniah, Pak Ansui, Abdul Isma dan adalagi beberapa orang akan dibawanya.

ADINDA : Makin banyak orang kemari, pak.

PAK ENTOH : Ya, siapa tahan di Lebak? Memang benar juga kata si Saijah dulu, seperti dia tahu apa yang akan terjadi (Adinda tunduk) mengapa kau diam Adinda? Masih tetap Saijah dalam hatimu? (Adinda masih tetap diam) Kalau Saijah kembali ke Badur…

ADINDA : Pasti dia kembali ke Badur. (tempo) dia akan menunggu di bawah pohon ketapang, tempat aku memberikan melati padanya. (seperti pada diri sendiri) tapi aku tidak datang, tiga kali dua belas guritan… aku Cuma mengguritkan tigapuluh dua baris.

PAK ENTOH : (Menggeleng kasihan) kalau Saijah kembali ke Badur, dia tidak akan tahan tinggal di Badur, dan akan mencari kita.

ADINDA : Tapi dia tidak akan tahu tempat kita.

PAK ENTOH : (Kesal) Dia sendiri tentu tidak, tapi, orang-orang Badur, yang tidak sanggup membayar pajak, yang kerbaunya dirampas, akan bersama-sama mengikuti jalan yang kita tempuh, di sini kita bisa berkumpul semua.

ADINDA : Kalau mereka tidak kedapatan oleh serdadu patroli.

PAK ENTOH : (Kesal) Sampai sekarang mereka belum tahu tempat persembunyian kita, entah kalau ada yang berpengkhianat

ADINDA : (Mengangguk – geram) bapa berangkat membawa aku dan adik-adik, tapi dia tidak ke Bogor, karena di situ dulu bapa Saijah dihajar dengan rotan, dia meninggalkan Bogor tidak dengan surat keterangan. Karena itui bapa tidak pergi ke Bogor, juga ke Krawang, ke Priangan atau ke sekitar Betawi. Kami dibawanya ke Cilangkahan, dekat laut. Di situlah kami bersembunyi, menunggu kawan-kawan lain, yang kerbaunya telah dirampas oleh Wedana Parang Kujang. Beserta kawan-kawan lain ketakutan dihukum karena tidak sanggup membayar pajak, sampai kemari… (tunduk terharu) mudah-mudahan saja mereka bertiga selamat, sebab kepungan mereka jarang lolos. (sejenak diam) Bibi tidak dengar kabar Saijah di Badur?

BIBI : Ya Adinda, Saijah telah datang di Badur.

ADINDA : Bibi pernah melihatnya?

BIBI : (ragu) Ya… ya Adinda

ADINDA : Di mana bi?

BIBI : Dia mencari anakku, Adinda.

ADINDA : Tapi aku tidak ada.

BIBI : Dia minta cari lesungmu.

ADINDA : Lesungku, … dia ada pada siti, bi

BIBI : (Mengangguk) Ya.

ADINDA : Ada bibi tunjukkan (bibi mengangguk) senangkah aku sudah, dia tahu aku tetap setia padanya (diam sejenak) apa lagi bi?

BIBI : (Sejenak tak menjawab) Adinda…

ADINDA : Ya, bi.

BIBI : Kau jangan terkejut, Adinda.

ADINDA : Mengapa?

BIBI : Dia kembali ke Badur, Adinda tidak ada. Saijah tinggal bersama kami.. tapi…

ADINDA : Tapia pa, bi?

BIBI : Saijah seperti gila mula-mula

ADINDA : (Tidak percaya) Saijah gila?

BIBI : Saijah tidak gila, tapi dia sangat bengung seperti orang gila. Tidak di sangkanya kekajaman terus berlaku di Badur, sehingga dia tak sampai ketemu dengan Adinda. Kami pelihara dia baik-baik mula-mula dia suka tertawa keras-keras, aneh. Tapi kemudian tidak lagi, Cuma saja malam-malam kawan-kawan selalu mendengarnya dia menyanyi.

(Adinda tunduk menahan air mata)

Penduduk di Badur mengumpulkan uang, membuat sedekah kepada buaya-buaya di Ciujung, semoga saijah sembuh, tapi nyatanya dia memang tidak gila benar, pada suatu malam ketika bulan terang, ditinggalkannya balai-balainya dan diam-diam dia keluar rumah menuju tempat rumah Adinda dulu. Banyak sekali sudah rumah yang rubuh. Tapi rupanya rumah Adinda dulu dikenalnya betul, ketika kami cari, kami dapati dia di atas tumpukan sampah, tangannya memegang segumpal abu bekas balai-balaimu dan abu itu dibawanya kebibirnya, tiada dimakannya, tapi dia bernafas, menghirupnya… (tunduk – Adinda terus menatap bibi mengangkat mukanya lagi) waktu sampai ke rumah lagi, kami diberinya segumpal uang.

ADINDA : Tidak ada apa-apanya bi?

BIBI : Ada, katanya: belikanlah kerbau dengan uang ini, penuhilah permintaanku, sebagai permintaan seorang anak yang sudah tak punya orang tua lagi. Inilah baktiku pada orang tua. Itulah katanya. Esoknya Saijah tidak ada lagi di Badur.

ADINDA : (Meneteskan air mata) dan bibi belikan kerbau?

BIBI : Benar, gembira kami ada kerbau lagi, tapi belum lama gembira…

ADINDA : (Geram) Kerbau itu di rampas Kanjeng Bupati?

BIBI : (Sedih) Ya.

ADINDA : Cerita lama lagi.

BIBI : Tapi Kanjeng Bupati sekarang bukan yang dulu lagi, Adinda.

ADINDA : Apakah artinya ganti penguasa, kalau keduanya menjalankan pemerasan, Tapi bi, apakah Saijah ada rencana menuju kemari?

BIBI : Bibi tidak tahu, Adinda. Saijah pergi tidak meninggalkan pesan kepada siapapun. Pemuda seperti dia sangat lembut hatinya, dia lebih kenal makna cinta daripada kita, karena cintanya indah sekali, lebih indah dari bulan purnama.

ADINDA : Hatikupun percaya, bi. Kalau cintanya tak pernah pudar, walau dilesungku hanya ada tiga puluh dua guritan (Pak Entoh masuk)

ADINDA : Mana pok Lontah, bapak?

PAK ENTOH : Sedang melihat rombongan yang di belakang, beberapa orang sudah datang.

ADINDA : Tidak adakah mereka yang bertemu dengan Saijah?

PAK ENTOH : Beberapa orang pernah melihat dia di jalanan, dia tidak menuju kemari, tapi menuju ke tanah Lampung. Di sana terjadi pemberontakan rakyat. Sak hatiku, darah Saijah mendorongnya menyatukan diri dengan rakyat yang berontak disana, dan kemudian baru menuju kemari, ke tanah hitam ini, tapi mereka sudah mencium tempat kita ini. Kuharap saja, ketiga orang itu mampu memperdayakan hingga patroli menjauh dari sini. Kita harus segera meninggalkan tempat ini.

(Masuk Pak Lontah – terengah-engah)

PAK LONTAH : Entoh! Patroli Belanda sedang melanda kita, beberapa pengungsi yang menuju kemari terhenti karena tercegat patroli.

PAK ENTOH : Itu artinya kita dalam bahaya.

PAK LONTAH : Tergantung pada siasat pengungsi, apakah mereka dapat menyesatkan patroli.

PAK ENTOH : Bila patroli Belanda tiba juga di sini, jangan kita kedapatan berkumpul seperti ini, atau kita harus mengadakan perlawanan. Nasib tidak boleh terus-terusan disia-siakan.

(Dari jauh terdengar suara orang lari, teriakan dan tembakan. Semakin lama semakin dekat, kemudian masuk dua orang serdadu dengan senjata pedang dan senapan. Terjadi perkelahian Pak Lontah dan Pak Entoh terbunuh, demikian juga bibi dan Adinda yang mengadakan perlawanan – serdadu keluar)

(Saijah masuk dengan tergesa-gesa membawa golok terhunus)

SAIJAH : Adinda! Adinda! (sampai pada mayat Adinda) Adinda. Sudah kusangka kau ada di sini, tapi si jahanam itu lebih dulu kemari. Pasukannya kami pegat di jalan, kami serang tiba-tiba. (diam sebentar – dirangkulnya Adinda) kutunggu kau di bawah pohon ketapang, ini tanda mata dari kota (dikeluarkannya ikat pinggang berkilat) Adinda, tak sempat kulihat kau memakai. KErbau tak jadi kubeli karena kerbau akan dirampas Kanjeng Bupati (tempo) Bapa, begini jadinya, semua kita mendapat giliran, tanah dirampas kerbau diambil, pada akhirnya jiwa mereka yang mencabut, nasib kita tani tidak bisa dipisah!

ADINDA : (Lemah) Saijah…

SAIJAH : Adinda….

ADINDA : Kau ada melihat lesung berasku di Badur?

SAIJAH : Ya, Adinda.

ADINDA : Cuma tiga puluh dua guritan, tidak sampai tiga kali dan belas guritan, ketika bulan baru timbul. Tapi… aku tetap… setia padamu… semua… pada kita semua… (menghela nafay yang terakhir)

SAIJAH : Adinda! Kita setia semuanya, antara petani dengan petani tiada boleh ada penghianatan. Biarlah, Adinda… nasib kita tidak bisa dipisahkan, nasib tani satu, hati tani satu. Mereka boleh membunuh manusia, tapi tak kan mampu membunuh hati rakyat tani…

(Di luar ramai. Saijah meletakkan Adinda pelan-pelan berdiri tegak dengan, berdiri tegak dengan golok, serdadu 1&2 masuk terjadi perkelahian seorang serdadu mati, Saijah terbunuh)

SAIJAH : Padamu Adinda… padamu kaumku… tanahku… aku tetap setia.

( S.E : … dan agaknya doa sukur naik ke langit dari hati, hati orang-orang yang saleh di gereja hari minggu atau waktu sembahyang, ketika mendengar bahwa “Tuhan segala bala tentara” telah ikut pula berperang di bawah panji-panji Belanda…

“Tapi Tuhan, hiba melihat mala petaka demikian.

Hari itu menolak korban persembahan!)

SELESAI

Diketik ulang oleh Studio Teater PPPG Kesenian Yogyakarta

Februari 2007

0 komentar: