KESENIAN

SELAMAT DATANG
DI BLOG LooKM4N G4R3NG.
BLOG INI TERLAHIR KARENA KEINGINTAHUAN DAN KEHAUSAN
TENTANG KESENIAN

Selasa, 16 November 2010

Naskah Malam Terakhir


MALAM TERAKHIR
(Sotoba Komachi)
Karya : Yukio Mishima
Diterjemahkan oleh Toto Sudarto Bachtiar

Para Pelaku           :  Perempuan Tua
                                 Penyair
                                 Laki-Laki Pertama
                                 Laki-Laki Kedua
                                 Laki-Laki Ketiga
                                 Perempuan Pertama
                                 Perempuan Kedua
                                 Perempuan Ketiga
                                 Agen Polisi
                                 Beberapa Penari
                                 Beberapa Pasangan Kekasih
                                 Beberapa Pengemis
                                 Beberapa Pelayan Rumah Makan

MALAM TERAKHIR
PEREMPUAN TUA              :  Satu ditambah satu, dua, dua ditambah dua lagi, empat… (Dia memegang sebuah puntung rokok di bawah cahaya lampu, danketika dilihatnya rokok itu masih cukup panjang, dia kemudian pergi menuju PASANGAN KEKASIH di sebelah kirinya untuk meminta api. Sesudah itu dia duduk lagi dan mengisap rokoknya. Setelah beberapa isap dia memadamkan lagi sigaretnya, dan melemparkannya ke samping puntung-puntung rokok lainnya di atas sehelai kertas Koran. Kemudian dia mulai menghitung lagi) Satu ditambah satu, dua; dua ditambah dua, empat…
PENYAIR                              :  (Pergi berdiri di belakang PEREMPUAN TUA itu dan memperhatikan apa yang sedang dilkukannya)
PEREMPUAN TUA              :  Kau mau merokok ? Silakan.
PENYAIR                              :  Terima kasih.
PEREMPUAN TUA              :  Masih ada keperluan lainnya ? Mungkin ada yang ingin kau sampaikan ?
PENYAIR                              :  Tidak. Tidak begitu penting soalnya.
PEREMPUAN TUA              :  Aku tahu kau siapa. Kau seorang penyair. Itulah keahlianmu.
PENYAIR                              :  Rupanya kau tahu betul keadaanku. Ya, sekali-sekali aku menulis sajak. Tentu. Tetapi itu bukan bisnis, bukan perusahaan.
PEREMPUAN TUA              :  Begitu pendaptmu? Pasti karena kau tidak bisa menjual sajak-sajakmu, bukan? Kau masih muda, bukan? Tetapi kau tidak akan lama lagi hidup. Tampak malaikat maut sudah tercoreng di atas keningmu.
PENYAIR                              :  Apa pekerjaanmu di masa yang lalu? Peramal? Dapatkah kau meramal melalui garis tangan, melalui kerut-kerut pada muka?
PEREMPUAN TUA              :  Mungkin… Aku melihat begitu banyak manusia dalam hidupku, sehingga muka mereka itu tidak bicara apa-apa lagi kepadaku… Duduklah! Aku kira kau sudah tidak begitu tetap lagi berdiri.
PENYAIR                              :  Ini disebabkan karena aku baru saja minum-minum.
PEREMPUAN TUA              :  Eh… Selagi kau masih hidup kau harus berdiri dengan kedua kakimu di atas tanah.
PENYAIR                              :  Dengarlah, ada sesuatu yang sangat ingin kuketahui selama ini, sehingga terpaksa aku harus menanyakannya padamu. Mengapa kau saban malam dating ke mari pada waktu yang sama dan mengusir semua pasangan itu dari bangku mereka?
PEREMPUAN TUA              :  Bangku itu bukan milikmu sendiri, bukan? Mau apa kau sebenrnya? Apakah kau seorang pengembara? Apakah kau harus meminta sedekah kepada orang-orang yang duduk di sini?
PENYAIR                              :  Tidak. Tetapi bangku itu tidak bisa menyampaikan kejengkelannya. Karena akulah yang harus menyampaikannya untuk dia.
PEREMPUAN TUA              :  Aku tak pernah mengusir orang. Mereka dengan sendirinya pergi menjauh kalau aku duduk di sini. Lihat saja, bangku ini bisa diduduki oleh empat orang.
PENYAIR                              :  Malah hari bangku-bangku itu untuk orang-orang yang sedang berkasih-kasihan. Kalau aku malam-malam melewati taman ini dan pada setiap bangku aku melihat pasangan semacam itu duduk di atasnya, dalam hatiku aku selalu merasa bukan main tenteramnya. Kalau aku melewati mereka maka aku berjalan dengan bersijingkat. Bahkan kalau aku merasa letih, atau tiba-tiba aku kehilangan ilham, sehingga aku mau duduk untuk mengumpulkan gagasan-gagasanku, akupun tidak melakukannya. Karena rasa hormatku kepada… Tetapi kau langsung saja duduk. Telah berapa lama sebenarnya kau biasa datang ke mari?
PEREMPUAN TUA              :  Ah, sekarang baru aku mengerti maksudmu! Tempat ini agaknya merupakan padang perburuanmu. Engkau datang ke mari untuk keperluan perusahaanmu.
PENYAIR                              :  Perusahaanku? Apa maksudmu sebenarnya?
PEREMPUAN TUA              :  Yah, maksudku, kau di sini mengumpulkan kesan-kesan, impresi-impresi yang kemudian kau olah menjadi sajak-sajak.
PENYAIR                              :  Jangan beromong-kosong! Teman, orang-orang yang berkasih-kasihan, lentera-lentera… apakah kau betul-betul mengira aku menulis tentang soal-soal konyol itu?
PEREMPUAN TUA              :  Kalau waktunya sudah cukup lama berlalu, maka soa-soal itu tidak akan konyol lagi. Cobalah sebutkan padaku satu soal yang pada waktunya tidak bersifat konyol.
PENYAIR                              :  Kau punya gagasan-gagasan yang betul-betul menarik! Kau hampir-hampir berhasil memaksaku untuk mengajukan suatu pembelaan bagi bangku ini.
PEREMPUAN TUA              :  Ya Tuhan, kau betul-betul menjemukan! Kau Cuma mau berkata bahwa aku terlalu hina untuk bangku ini. Atau bukan begitu barangkali?
PENYAIR                              :  Terlalu hina? Kau seorang yang murtad!
PEREMPUAN TUA              :  Jalan fikiran remaja masa kini betul-betul bagus! Aku terpaksa harus mengatakannya.
PENYAIR                              :  Dengarkan sekarang… Aku tidak lebih dari kelihatannya, seorang kuli tinta, yang isteri untuk mengurus pun tidak punya. Tetapi ada sesuatu yang kuhormati: yakni dunia ini, sebagaimana terpantul dalam mata anak-anak muda yang sedang jatuh cinta, dan yang seratus kali lebih indah dari kenyataan – ya, aku menaruh rasa hormat kepadanya. Lihatlah, mereka sedikit pun tidak tahu bahwa kita sedang memperbincangkan mereka. Mereka sedang melambung ke langit, sampai di atas bintang-bintang. Bahkan wajah mereka pun bersinar laksana bintang. Dan bangku di sini ini, bangku ini ibarat sebuah tangga yang menuji ke langit, menara pengawas paling tinggi di dunia, suatu pos pengenal yang paling baik. Kalau ada seorang pemuda yang duduk di sini bersama gadinya, maka dia akan dapat emlihat semua kota di dunia. Tetapi kalau aku berdiri di sini, maka aku tidak melihat apa-apa, tidak melihat suatupun… Atau lebih baik… tentu saja aku selalu melihat sesuatu … sejumalh bangku… seorang lelaki dengan lentera saku, aku kira dia seorang agen polisi… Dua buah mobil yang saling berpapasan. Tanpa mengurangi sorot lampunya. Dan apa itu? Sebuah mobil penuh dengan bunga-bunga! Seniman-seniman yang baru kembali dari konser? Atau suatu upacara penguburan? Hanya itulah yang dapat kulihat.
PEREMPUAN TUA              :  Omong-kosong! Aneh sekali kau bisa menaruh hormat kepada hal-hal semacam itu! Maka aku bisa mengerti kalau kau menulis sajak-sajak yang tidak dibeli orang.
PENYAIR                              :  Bukan, bukan. Justeru oleh karena itu aku tidak pernah duduk di atas bangku-bangku itu. Selama kau dan aku duduk di atasnya maka bangku-bangku itu tidak lain kecuali bangku-bangku kayu yang papa. Tetapi apabila mereka duduk di atasnya maka bangku itu akan menjadi semacam kenangan. Dan bangku itu bisa menjadi lebih empuk dari sebuah dipan dan hangat oleh percikan-percikan api yang keluar dari pelukan-pelukan mereka… Kalau kau duduk di sini maka semuanya menjadi begitu dingin seperti makam, bangku-bangku itu seakan-akan batu nisan. Aku tidak tahan.
PEREMPUAN TUA              :  Kau masih muda, masih plonco sekali, kau tidak melihat benda-benda itusebagaimana adanya.. Kau beranggapan bahwa bangku-bangku tu menjadi hidup jika ada seorang pemuda tolol bersama pacarnya duduk di atasnya. Janganlah begitu bodoh! Mereka saling memeluk di atas makam mereka. Lihat, betapa pucatnya mereka, betapa pucat-lesinya mereka, dalam cahaya hijau yang melalui daun-daun menyelinap dari jalan. Mata mereka terpejam. Tidakkah mereka kelihatan sebagai mayat? Mereka mati selagi bercumbu. Benar, benar bau bunga. Bunga-bunga di taman malam hari baunya sama kuat dengan bunga-bunga di dalam peti mati. Dan semua pasangan yang sedang jatuh cinta itu membiarkan dirinya terkubur dalam bau bunga-bunga itu. Satu-satunya yang hidup di sini ialah kau dan aku.
PENYAIR                              :  Apakah kau kira dirimu lucu? Apakah kau betul-betul beranggapan bahwa kau hidup dan mereka tidak?
PEREMPUAN TUA              :  Tentu saja. Sekarang umurku sembilan puluh sembilan tahun, tetapi lihatlah, betapa sehatnya aku!
PENYAIR                              :  Sembilan puluh sembilan?
PEREMPUAN TUA              :  Ya, perhatikan aku baik-baik!
PENYAIR                              :  Mengerikan. Segala kerut-kerut itu.
PEREMPUAN PERTAMA   :  Mengapa engkau? Mengapa kau bersikap begitu sekonyong-konyong?
LAKI-LAKI PERTAMA       :  Mari, kita pergi. Nanti kita masuk angin!
PEREMPUAN PERTAMA   :  Tidak, kau kelihatannya seperti merasa jemu sekali!
LAKI-LAKI PERTAMA       :  Tidak, sama sekali tidak. Aku justeru teringat akan sesuatu, akan sesuatu yang menyenangkan.
PEREMPUAN PERTAMA   :  Begitu? Kalau begitu teringat akan apa?
LAKI-LAKI PERTAMA       :  Akan ayam-ayamku. Ayam-ayam itu besok pasti akan bertelur sebutir.
PEREMPUAN PERTAMA   :  Apa maksudmu berkata begitu?
LAKI-LAKI PERTAMA       :  Apa maksudmu berkata begitu? Tidak ada. Sama sekali tidak ada.
PEREMPUAN PERTAMA   :  Jadi, kau tidak bermaksud apa-apa! Tetapi bagiku itu ada artinya. Itu berarti bahwa hubungan kita putus.
LAKI-LAKI PERTAMA       :  Ayuh, cepatlah. Lihat trem terakhir itu sudah datang. Kita mesti lari.
PEREMPUAN PERTAMA   : Kau selalu memakai dasi yang jelek!
PEREMPUAN TUA              :  Syukurlah! Kedua orang itu setidak-tidaknya menjadi hidup lagi!
PENYAIR                              :  Bintang-bintang di langit mereka telah sirna. Mengapa kau berani mengatakan bahwa baru sekarang mereka menjadi hidup lagi?
PEREMPUAN TUA              :  Aku tahu bagaimana kelihatannya muka seseorang yang baru kembali lagi kepada kehidupan… Aku cukup sering melihatnya. Muka semacam itu memperlihatkan kejemuan yang luar biasa dan pemandangan semacam itu menyenangkan hatiku… Lama berselang, ketika aku masih muda, aku baru merasa hidup kalau aku merasa pusing. Aku baru merasa hidup kalau aku lupa sama sekali akan diriku. Kemudian aku sadar kalau aku keliru. Kalau kau masih punya perasaan, bahwa hidup di dunia ini sangat menyenangkan – kalau bunga yang paling kecil masih nampak seperti sebuah katedral dank au mengira bahwa burung-burung merpati yang terbang melintas bernyanyi dengan suara manusia… kalau setiap orang yang kaujumpai dengan gembira mengucapkan ‘selamat siang’ kepadamu dan benda-benda yang sepuluh tahun yang lalu sia-sia saja kaucari tiba-tiba berdiri menantikanmu di lemari dapur… kalau semua gadis nampak seperti permaisuri, dan mawar-mawar sudah bersemi lagi pada semak-semak yang layu… ya, dan semua itu adalah hal-hal yang paling tidak sepuluh hari sekali pernah kau alami ketika aku masih muda dahulu, maka… tetapi tidak kalau aku sekarang teringat lagi akan hal itu, maka aku pun tahu bahwa semua itu adalah penipuan terhadap diri sendiri, sehingga kebusukan dalam segalanya saja pun aku tidak dapat melihatnya, karena aku seolah-olah mati… semakin jelek anggurnya, semakin cepat kau menjadi mabuk. Di tengah-tengah kemabukanku, di tengah-tengah perasaan dan air mataku – aku mati. Sesudah itu sikapku untuk tidak minum-minum lagi sebagai azazku. Itulah seluruh rahasia hidupku yang panjang. Fikiranku sehat.
PENYAIR                              :  Amboi! Tetapi kalau begitu apa sebenarnya makna hidup?
PEREMPUAN TUA              :  Apa sebabnya aku hidup? Bukankah kenyataan kehadiranku dengan sendirinya sudah merupakan suatu makna? Aku bukanlah seekor kuda yang berlari-lari untuk mendapatkan gula-gula! Kuda-kuda memang untuk disuruh berlari, tetapi manusia?
PENYAIR                              :  “Lajulah, lajulah kuda kecilku. Jangan melihat ke kanan atau ke kiri…”
PEREMPUAN TUA              :  “Ikuti saja baying-bayang. Bekas jalan kereta…”
PENYAIR                              :  Kalau matahari terbenam, baying-bayang jadi lebih panjang.
PEREMPUAN TUA              :  Bayang-bayangnya melengkung. Bayang-bayang itu hilang dalam kelam malam. (Selagi mereka berbicara, PASANGAN-PASANGAN YANG SEDANG KASIH-KASIHAN di kanan-kiri mereka sama berdiri tegak dari bangku mereka dan pergi)
PENYAIR                              :  Wahai, Ibu, masih ada sesuatu yang ingin kutanyakan… Siapa namamu sebenarnya?
PEREMPUAN TUA              :  Mereka dulu memanggilku Komachi.
PENYAIR                              :  Siapa yang memanggilmu begitu?
PEREMPUAN TUA              :  Semua laki-laki yang pernah memuja kecantikanku telah meninggal. Dan sekarang aku punya peraaan, bahwa setiap orang yang mengatakan aku cantik harus meninggal.
PENYAIR                              :  Kalau begitu aku mujur. Aku baru berjumpa denganmu setelah kau berumur sembilan puluh sembilan tahun!
PEREMPUAN TUA              :  Benar, kau beruntung… Tetapi hanya seorang gila seperti kau mungkin menyangka bahwa setiap perempuan cantik jadi jelek dengan berlalunya tahun. Tetapi itu suatu kekeliruan besar. Seorang perempuan cantik akan tetap perempuan cantik selalu. Juga kalau sekarang ini aku nampanya jelek, sebenarnya aku ini hanya perempuan cantik yang jelek belaka. Aku sudah begitu sering, dan dari sekian banyak fihak, mendengar betapa mempesona kelihatannya aku, sehingga selama tujuh puluh, delapan puluh tahun terakhir ini aku tak punya kebutuhan lagi untuk berpikir lain tentang hal itu. Aku masih selalu memandang diriku sebagai seorang perempuan cantik yang mempesona.
PENYAIR                              :  Mestinya adalah suatu beban yang berat untuk menjadi seorang yang cantik… aku dapat memahaminya. Seorang laki-laki yang pernh mengalami peperangan, selama-lamanya tetap terkenang akan peperangan. Sudah barang tentu dahulu kau pernah cantik…
PEREMPUAN TUA              :  Apa katamu? Aku masih tetap cantik!
PENYAIR                              :  Ya ya, tentu saja, aku mengerti. Mengapa kau tidak mau bercerita barang sedikit mengenai masa remajamu kepadaku. Apa yang pernah kau alami delapan puluh – atau barangkali sembilan puluh tahun. Ceritakanlah, apa yang telah terjadi delapan puluh tahun yang lalu.
PEREMPUAN TUA              :  Delapan puluh tahun yang lalu aku baru berumur sembilan belas tahun. Kapten Fukaksa dari pasukan pengawal Kaisar. Sangat terpsona olehku.
PENYAIR                              :  Bagaimana kalau aku berbuat seolah-olah aku kapten itu – siapa namanya tadi?
PEREMPUAN TUA              :  Jangan berangan-angan! Dia seratus kali lebih tampan dan lebih gagah daripada kau… Benar, dan ketika itu aku berkata kepadanya, bahwa aku akan memenuhi keinginannya yang paling luhur, kalau dia sudah seratus kali mengunjungiku. KEmudian tibalh malam yang keseratus itu. Ketika itu di kebun istana Rokumee diselenggarakan sebuah pesta, dan semua orang yang gemar akan kesenangan duniawi hadir. Aku agak merasa letih karena udara pana di dalam, dan aku duduk di atas sebuah bangku, untuk menghirup hawa segar… Astaga…! Orang-orang dari seluruh kota kelihatnnya mengadakan rendevous di sini.
PENYAIR                              :  Maksudmu para wanita dan pria yang gagah-gagah itu?
PEREMPUAN TUA              :  Tentu saja! Bagaimana kalau kita berdansa pada irama wals sekarang ini agar yang lain menjadi kesal?
PENYAIR                              :  Aku berdansa dengn kau?
PEREMPUAN TUA              :  Jangan lupa: kau Kapten Fukaksa sekarang. (TIGA PASANG REMAJA, yang berpakaian menurut mode tahun 1880, muncul sambil berdansa dengan irama wals. PEREMPUAN TUA dan PENYAIR itu juga berdansa. Ketika musik berhenti, ORANG-ORANG LAINNYA berkerumun mengelilingi PEREMPUAN TUA Itu)
PEREMPUAN PERTAMA   : Komachi! Kau kelihatan sangat cantik lagi malam ini!
PEREMPUAN KEDUA        :  Kau membuatku iri. Dari mana kau peroleh pakaianmu yang indah itu?
PEREMPUAN TUA              :  Tentu saja dari Paris! Aku telah mengirimkan ukuran-ukuran tubuhku kepada Maison Piquet dan kemudian menyuruh membuat pakaian itu di sana.
PERMPUAN PEREMPUAN   :        Benar begitu?
PEREMPUAN KETIGA       : Ya, kalau tidak begitu tidak mungkin. Apa yang mereka buat di Jepang sini selalu begitu kampungan.
LAKI-LAKI PERTAMA       :  Tidak sangsi lagi. Mengapa harus kau pusingkan? Kau mau tidak mau harus mendatangkan pakaianmu dari luar negeri.
LAKI-LAKI KEDUA           :  Tepat. Danitu juga berlaku buat kami. Adakah kalian melihat rok yang di pakai Perdana Menteri semalam? London. Kota ini masih tetap merupakan kiblat buat pakaian laki-laki. (Sambil tertawa dan bercakap-cakap, PEREMPUAN-PEREMPUAN itu membentuk sebuah lingkaran di seputar PEREMPUAN TUA dan PENYAIR itu. KETIGA LAKI-LAKI itu duduk di atas sebuah bangku sambil bercakap-cakap)
LAKI-LAKI KETIGA           :  Komachi betul-betul mempesona!
PEREMPUAN KETIGA       :  Memang, dalam sinar bulan seperti sekarang ini seorang tukang tenung pun akan kelihatan cantik!
LAKI-LAKI PERTAMA       :  Ya, tetapi dalam sinar matahari yang terang benderang sekalipun Komachi akan kelihatan cantik, dan dalam sinar bulan jadinya dia kelihatan betul-betul seperti bidadari, dan…
LAKI-LAKI KEDUA           :  Ya, dan anda akan kehilangan kata-kata anda.
LAKI-LAKI KETIGA           :  Ya, dan dia pandai pula menjauhkan para pria dari dirinya! Dan karenanya mereka banyak pula bergunjing tentang dia…
LAKI-LAKI  PERTAMA      :  Dia betul-betul seorang ‘dara’ maksudku dia masih perawan. Ini sungguh-sungguh apa yang biasa kaunamakan suatu ‘histoire scandaleuse’!
LAKI-LAKI KEDUA           :  Kapten Fukaksa sangat tergila-gila kepadanya. Adakah kalian melihat betapa pucat dan kurusnya dia? Seolah-olah dia tidak pernah makan apa-apa.
LAKI-LAKI KETIGA           :  Sehari-harian dia tidak berbuat lain kecuali menulis sajak-sajak untuk Komachi, dan tugas-tugasnya sebagai perwira sama sekali dilalaikan. Justeru suatu hal yang aneh bahwa, para perwira pengawal lainnya masih mau bergaul dengan dia!
LAKI-LAKI PERTAMA       :  Apakah salah satu dari kita masih mungkin mendapat kesempatan menurut pendapatmu?
LAKI-LAKI KEDUA           :  Haha! Yang kucapai tidak mungkin lebih jauh dari suatu ‘espoir’, aku Cuma bisa berharap.
LAKI-LAKI KETIGA           :  Tidak, mengenai hal itu aku tidak punya pengharapan lebih besar daripada ‘une sardino’.
LAKI-LAKIPERTAMA        :  Ya, aku akan lebih cepat sampai di dalam kaleng atau jarring, daripada di tempat tidurnya… Dan begitu pula keadaannya dengan aku. Ah! Yang paling menjengkelkan dari ikat pinggang Eropah dia selalu menjadi terlalu sempit setelah makan. (Dua orang PELAYAN muncul. Yang seorang menghidangkan sebuah baki dengan cocktail, yang seorang lagi menghidangkan sebuah baki dengan hors d’oeuvres. SEMUA ORANG mengambil hidangan. Hanya PENYAIR itu memandang seperti terpukau kepada PEREMPUAN TUA. KETIGA ORANG PEREMPUAN itu, sambil memegang sebuah gelas di tangannya masing-masing, duduk di atas sebuah bangku yang terletak berhadapan denganbangku PARA LAKI-LAKI itu)
PEREMPUAN TUA              :  Aku mendengar bunyi gemercik air di suatu tempat, tetapi aku tidak melihat apa-apa. Aneh rasanya seperti sedang hujan nun di kejauhan.
LAKI-LAKI PERTAMA       :  Suaranya merdu sekali! Begitu jernih laksana gemercik mata air.
PEREMPUAN PERTAMA   :  Kalau mendengar dia berbicara kedengarannya seperti sedng membacakan sajak-sajak.
PEREMPUAN TUA              :  Mereka sekarang sedang berdansa! Bayang-bayang mereka berlintasan sepanjang kaca-kaca jendela dan malam menjadi terang dan gelap. Bagaikan api yang sedang meruak dan padam.
LAKI-LAKI KEDUA           :  Tidakkah kau sependapat bahwa suaranya mengandung gairah? Suara yang menghujam dalam ke dalam hatimu?
PEREMPUAN KEDUA        :  Aku seorang perempuan, tetapi aku menggigil kedinginan kalau aku mendengar suaranya.
PEREMPUAN TUA              :  Wahai! Kau dengar lonceng-lonceng itu? Kau dengar roda-roda itu, derap kuku-kuku kuda itu? … kereta siapakah gerangan? Aku masih belum melihat orang dari kalangan istana. Lonceng itu kedengarannya seperti lonceng kereta Kaisar. Amboi, alangkah pengapnya di sini, bau itu…
LAKI-LAKI KETIGA           : Komachi membuat semua perempuan lain di sekitar dirinya menjadi pucat.
PEREMPUAN KETIGA       :  Tetapi itu keji sekali. Dia tak tanggung-tanggung mencuri warna tas tanganku! (Musik mengumandangkan lagu wals baru. SEMUA ORANG menyimpan kembali gelas masing-masing di atas baki PELAYAN dan mereka mulai berdansa lagi. PEREMPUAN TUA dan PENYAIR itu masih tetap berdiri dengan sikap yang sama)
PENYAIR                              :  Semua betul-betul ajaib…
PEREMPUAN TUA              :  Apanya yang ajaib?
PENYAIR                              :  Entahlah … Aku …
PEREMPUAN TUA              :  Jangan kau katakana! Jangan kau coba mencari kata-kata! Aku tahu apa yang mau kaukatakan…
PENYAIR                              :  Kau.. kau begitu…
PEREMPUAN TUA              :  Begitu… cantik! Bukankah itu yang mau kaukatakan? Jangan kau katakana! Barangsiapa mengatakannya umurnya tidak akan panjang lagi. Aku peringatkan!
PENYAIR                              :  Tetapi…
PEREMPUAN TUA              :  Kalau kau masih saying kepada hidupmu… diamlah!
PENYAIR                              :  Tidak. Ini betul-betul terlalu aneh! Kita tidak bisa memberi nama lain kecuali keajaiban!
PEREMPUAN TUA              :  Betul begitu? Apakah yang semacam itu sekarang disebut keajaiban? Padahal itu merupakan suatu yang paling biasa di dunia.
PENYAIR                              :  Tetapi kerut-kerut itu…
PEREMPUAN TUA              :  Apa? Adakah kerut-kerut pada mukaku?
PENYAIR                              :  Tetapi memang itu yang mau kukatakan barusan! Sekarang aku tidak melihat kerut-kerut lagi pada mukamu.
PEREMPUAN TUA              :  Tentu saja tidak! Mana mungkin pula seorang laki-laki selama sertus malam bisa memuja tukang tenung yang keriput?... Jangan lagi kita bicara tentang hal itu. Mari kita berdansa. (Mereka berdansa bersama-sama. PELAYAN-PELAYAN itu pergi. Satu PASANGAN KE EMPAT muncul. Kemudian KEEMPAT PASANGAN itu duduk di atas kursi, sambil berbisik-bisik mesra)
PEREMPUAN TUA              :  Kau letih?
PENYAIR                              :  Tidak.
PEREMPUAN TUA              :  Kau kelihatan payah sekali.
PENYAIR                              :  Aku selalu kelihatan begitu.
PEREMPUAN TUA              :  Apakah itu suatu jawaban?
PENYAIR                              :  Sekarang adalah malam keseratus.
PEREMPUAN TUA              :  Namun…
PENYAIR                              :  Apa yang mau kaukatakan…
PEREMPUAN TUA              :  Mengapa mukamu tiba-tiba berubah? Ada apa?
PENYAIR                              :  Tidak ada apa-apa. Aku merasa sedikit pusing.
PEREMPUAN TUA              :  Bagaimana kalau kita masuk?
PENYAIR                              :  Jangan. Aku lebih senang tinggal di sini. Di dalam sana terlalu rebut untukku.
PEREMPUAN TUA              :  Musik telah berhenti. Alangkah sunyinya tiba-tiba.
PENYAIR                              :  Ya, yang masih tinggal sekarang haya kesunyian.
PEREMPUAN TUA              :  Apa yang kau fikirkan?
PENYAIR                              :  Tidak ada. Tetapi mungkin juga ada. Aku punya firasat yang aneh barusan. Firasatku berkata, seolah-olah kita berdua sekarang harus berpisah, untuk kemudian kita baru bertemu lagi setelah seratus tahun yang akan datang, mungkin sedikit kurang dari satu abad.
PEREMPUAN TUA              :  Kalau begitu kita harus bertemu lagi di mana? Di kuburan barangkali? Atau di neraka? Aku kira itulah yang paling masuk akal.
PENYAIR                              :  Tunggu! Ada sesuatu yang tiba-tiba muncul dibenakku!... Sebentar! Rasanya tempatnya ama seperti di sini. Aku akan melihatmu kembali di tempat yang sama seperti ini.
PEREMPUAN TUA              :  Sebuah taman…, lentera-lentera gas, bangku-bangku, pasangan-pasangan yang sedang jatuh cinta…
PENYAIR                              :  Ya, segala akan sama pula. Hanya satu hal saja yang ingin kuketahui… kau dan aku akan bagaimana kelihatannya kelak.
PEREMPUAN TUA              :  Aku tidak percaya bahwa aku akan jadi bertambah tua lagi.
PENYAIR                              :  Boleh jadi akulah yang tidak akan jadi tua.
PEREMPUAN TUA              :  Delapan puluh tahun setelah hari ini… Niscaya di dunia ini sudah banyak yang akan berubah bukan?
PENYAIR                              :  Hanya yang dibuat oleh manusia yang akan berubah… Sebuah mawar akan tetap sebuah mawar juga delapan puluh tahun yang akan datang.
PEREMPUAN TUA              :  Aku ingin sekali tahu, apakah di Tokio nanti masih akan ada kebun-kebun sunyi seperti ini.
PENYAIR                              :  Rumput dan rumput liar akan menyelimuti semua kebun yang ada…
PEREMPUAN TUA              :  Tetapi burung-burung akan merasa betah di situ.
PENYAIR                              :  Seluruh sinar bulan di dunia akan memancar di atas kebun-kebun itu.
PEREMPUAN TUA              :  Dan kalau kau naik ke atas sebuah bangku dan kemudian kau memandang ke sekitar, maka kau akan melihat semua lampu di kota, dan ketika itu akan terasa olehmu seolah-olah kau sedang memandang semua lampu di dunia.
PENYAIR                              :  Kata-kata apa yang akan kita ucapkan, kalau kita bertemu lagi seratus tahun yang akan datang?
PEREMPUAN TUA              :  Menurut hematku, kira-kira seperti: Sayang sekali kita tak pernah saling berhubungan!
PENYAIR                              :  Apakah kau benar-benar akan menepati janjimu?
PEREMPUAN TUA              :  Janjiku?
PENYAIR                              :  Ya, janji malam kesertus itu.
PEREMPUAN TUA              :  Apakah kau meragukannya? Setelah segala apa yang pernah kukatakan paamu
PENYAIR                              :  Ya, malam ini keinginanku pasti akan terpenuhi. NAmun alangkah anehnya peraaan ini. Begitu menawarkan hati. Seolah-olah di tanganmu kau tiba-tiba memunyai sesuatu, yang sudah lama, sudah lama sekali kau inginkan.
PEREMPUAN TUA              :  Aku kira, untuk seorang laki-laki perasaan semacam itu mengerikan mestinya.
PENYAIR                              :  Perwujudan mimpi-mimpiku… dan barangkali akan datang pula harinya di mana aku pun akan merasa jemu terhadapmu! Tetapi kalau seorang laki-laki juga bisa merasa jemu terhadap orang semacam kau, kehidupan sesudah mati itu niscaya bukan main mengerikannya! Dan betapa tak tertanggungkan hari-hari dan bulan-bulan yang tak berakhir itu sampai aku mati! Suatu kejemuan yang abadi!
PEREMPUAN TUA              :  Hentikanlah !... Diamlah!.
PENYAIR                              :  Tidak mungkin.
PEREMPUAN TUA              :  Ini sudah terlalu gila sekarang. Mengapa kau harus memaksa dirimu untuk meneruskan sesuatu yang sebenarnya sama sekali tidak kauinginkan?
PENYAIR                              :  Siapa yang bisa mengatakan bahwa aku tidak menginginkan? Aku merasa sangat bahagia! Aku merasa, seolah-olah aku sertamerta akan bisa terbang ke langit, - namun sekaligus dengan itu aku pun merasa bukan kepalang sedihnya.
PEREMPUAN TUA              :  Engkau terlalu bernafsu.
PENYAIR                              :  Apakah kau betul-betul tidak akan berbuat sesuatu, kalau sudah mulai menjemukanku?
PEREMPUAN TUA              :  Aku sama sekali tidak akan mengacuhkannya. Dalam hal itu akan segera ada laki-laki lain yang akan mendambkanku selama seratus malam. Keadaan semacam itu tidak akan membuatku jemu.
PENYAIR                              :  Aku tidak akan peduli, kalau sekarang aku harus segera mati. Kesempatan seperti ini hanya sekali saja dialami manusia selama hidupnya… Bagiku peristiwa itu akan kualami malam ini.
PEREMPUAN TUA              :  Jangan kau mulai lagi beromong-kosong!
PENYAIR                              :  Malam ini atau tidak sama sekali! Tubuhku menggigil, kalau aku teringat bahwa aku harus melampaui malam ini seperti dahulu. Dengan perempuan-perempuan lain. Yang kugauli. Fikiran akan hal itu tidak bisa kutanggungkan!
PEREMPUAN TUA              :  Tetapi seseorang hidup tidak hanya untuk mati!
PENYAIR                              :  Siapa yang akan mengatakannya? Boleh jadi manusia mati untuk hidup.
PEREMPUAN TUA              :  Itu Cuma cara mengucapkan semata. Cara mengucapkan yang teramat konyol!
PENYAIR                              :  Tolonglah aku. Menurutmu, apa yang harus kulakukan?
PEREMPUAN TUA              :  Pergilah! Itulah satu-satunya yang bisa kaulakukan.
PENYAIR                              :  Tidak, dengarlah! Beberapa jam lagi bahkan mungkin beberapa menit lagi akan datang saatnya yang tiada akan menjadi ada duanya lagi di dunia ini. Di tengah malam matahari akan terbit. Sebuah kapal dengan layer terkembang penuh akan mengarungi jalan-jalan. Sejak masa kanak-kanak aku telah bermimpi akan hal itu. Entah mengapa. Sebuah kapal layar raksasa menderu di tengah-tengah kebun, pecahan ombaknya gemuruh di antara daun-daun pepohonan, dan di atas segala gemuruh kapal itu bertengger burung-burung kecil… Dalam mimpi itu aku merasa begitu bahagia sehingga jatungku berhenti berdetak.
PEREMPUAN TUA              :  Rupanya engkau terlalu banyak minum!
PENYAIR                              :  Kau tidak percaya? Malam ini juga, beberapa menit lagi sesuatu yang mustahil akan terjadi.
PEREMPUAN TUA              :  Hal-hal yang mustahil tidak akan terjadi!
PENYAIR                              :  Aneh… Mukamu…
PEREMPUAN TUA              :  Beberapa perkataan lagi dan dia harus mati. Aneh sekali? Mukaku? Lihatlah! Lihat betapa jelek mukaku jadinya dengan segala kerut itu! Datanglah lebih dekat, bukalah matamu!
PENYAIR                              :  Kerut-kerut? Kerut-kerut apa?
PEREMPUAN TUA              :  Lihatlah! Pakaian compang-camping! Baunya busuk! Penuh dengan kutu. Dan lihatlah tanganku, betapa menggigilnya tangan itu! Dan betapa panjang dan kotornya kukuku! Tidak!
PENYAIR                              :  Bau wangi semerbak dari tubuhmu! Warna kukumu bagai putik-putik seruni!
PEREMPUAN TUA              :  Dan ini, lihat buah dadaku! Warnanya coklat dan mongering! Buah dada seorang perempuan tidak boleh nampak seerti itu! Rabalah! Raba! Hampa dan layu!
PENYAIR                              :  Alangkah nikmatnya tubuhmu!
PEREMPUAN TUA              :  Umurku sembilan puluh sembilan tahun! Bangunlah! Nyalangkan matamu! Perhatikan aku baik-baik!
PENYAIR                              :  Akhirnya! Akhirnya aku teringat…
PEREMPUAN TUA              :  Kau ingat?
PENYAIR                              :  Ya,… begitulah. Engkau dulu seorang perempuan tua berumur sembilan puluh sembilan tahun! Kepalamu penuh kerut-kerut. Matamu berair dan pakaianmu bau busuk.
PEREMPUAN TUA              :  Dulu? Tidakkah kau lihat, bahwa aku masih tetap betina tua?
PENYAIR                              :  Aneh! … Matamu sejuk jernih bagaikan mata gadis dua puluh tahun dan bau wangi yang mempesona terpancar dari pakaianmu. Engkau menjadi muda lagi!
PEREMPUAN TUA              :  Jangan katakana! Bukankah ku telah memperingatkanmu? Tidak tahukah kau apa yang akan terjadi kalau kau mengatakan aku cantik?
PENYAIR                              :  Kalau aku berpendapat bahwa sesuatu cantik, maka aku harus mengatakannya, sekalipun aku harus mati karenanya.
PEREMPUAN TUA              :  Gila! Demi Tuhan, janganlah kau berkata lagi! Aku mohon!  Katakan saja yang lainnya! Bagaimana terusnya, dengan saat yang baru aja kau katakana tadi.
PENYAIR                              :  Baiklah! Aku akan mengatakannya.
PEREMPUAN TUA              :  Jangan, jangan, jangan  kau lakukan hal itu!
PENYAIR                              :  Saatnya telah tiba! Saat yang sudah kutunggu selama sembilan puluh sembilan malam, sembilan puluh sembilan tahun yang berkepanjangan.
PEREMPUAN TUA              :  Matamu menyala-nyala! Jangan kau lakukan! Janganlah kau mengatakan. Aku mohon!
PENYAIR                              :  Aku harus mengataknnya padamu, Komachi! Engkau cantik! Engkau perempuan paling cantik di dunia. Dan kecantikanmu tidak akan memudar, sekalipun sudah seribu tahun.
PEREMPUAN TUA              :  Jangan katakan! Jangan katakan! Engkau pasti akan menyeal!
PENYAIR                              :  Aku tidak akan menyesal!
PEREMPUAN TUA              :  Kau gila! Aku melihat tanda kematian telah tercoreng di atas keningmu.
PENYAIR                              :  Aku tidak mau mati!
PEREMPUAN TUA              :  Aku telah melakukan segala apa yang aku bisa untuk melindungimu.
PENYAIR                              :  Kedua tangan dan kakiku telah menjadi dingin… Aku tahu pasti, seratus tahun lagi kita akan bertemu kembali di sini, di tempat yang sama.
PEREMPUAN TUA              :  Lagi-lagi menunggu seratus tahun!  (Penyair itu jatuh ke tanah dan meninggal. TIRAI-TIRAI HITAM DI LATAR-BELAKANG serentak bergeser. PEREMPUAN TUA  itu duduk di atas bangku dan memandang nanap ke depan. Sesudah  itu dia mulai lagi memilih-milih puntung-puntung rokoknya. Selagi dia sibuk dengan itu, seorang AGEN POLISI muncul. Dia membungkuk di atas mayat penyair itu)
AGEN POLISI                       :  Mabuk. Bedebah… pemabuk-pemabuk! Ayo bangun! Di rumah binimu sedang menunggu. Lekas pulang sehingga dia bisa membaringkanmu di atas sarangnya… atau mungkinkah dia mati? … Persetan, dia mati! Hai, Mak tua… adakah kau melihatnya jatuh? Kau melihatnya tadi?
PEREMPUAN TUA              :  (Menengadah sejenak) Dia terjatuh beberapa waktu yang lalu.
AGEN POLISI                       :  Dia masih hangat.
PEREMPUAN TUA              :  Itu berarti dia baru saja meninggal.
AGEN POLISI                       :  Ya, aku memang pintar sekali! Aku bertanya kepadamu apakah kau melihatnya ketika dia jatuh. Jam berapa ketika kau datang ke mari?
PEREMPUAN TUA              :  Kira-kira setengah jam yang lalu. Dia sudah mabuk dan mulai gatal tangannya.
AGEN POLISI                       :  Gatal tangannya? Terhadapmu? Jangan melucu!
PEREMPUAN TUA              :  (Merasa terhina) Apakah itu begitu aneh! Itu Seuatu yang sangat wajar!
AGEN POLISI                       :  Oh, kuharap saja kau mampu melindungi dirimu!
PEREMPUAN TUA              :  Ah, aku tidak apa-apa. Dia Cuma agak menggangu. Untuk beberapa saat dia merengek-rengek padaku, dan sesudah itu dia tiba-tiba jatuh, terjerembab. Aku kira dia telah jatuh tertidur.
AGEN POLISI                       :  Hai! Kalian di sana! Tidak tahukah kalian bahwa di taman ini kalian tidak boleh tidur? Di sini bukan tempat penampungan orang-orang tak berumah! Ke sini! Aku perlu beberapa laki-laki untuk membantuku. (DUA ORANG itu mengangkat PENYAIR dan menggotongnya pergi dari situ)
PEREMPUAN TUA              :  (Membungkuk lagi di atas puntung-puntung rokoknya dan dengan seksama memilih-milih puntung-puntung rokok itu) Satu ditambah satu, dua… dua ditambah dua, empat. Satu ditambah satu, dua dan dua ditambah dua, empat….
LAYAR

Januari 2007
Diketik ulang oleh Studio Teater PPPG Kesenia Yogyakarta

0 komentar: